Keputusan Mahkamah Agung yang menyatakan Baiq Nuril bersalah atas dakwaan melakukan tindak pidana ‘tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan’, dinilai sebagai tidak berpihaknya hukum terhadap korban.
Baiq Nuril adalah perempuan asal Mataram, Nusa Tenggara Barat, yang mengalami pelecehan seksual dari atasannya, saat ia masih menjadi pegawai honorer di salah satu sekolah di Mataram, Nusa Tenggara Barat, pada 2012 silam.
Pakar hukum dari Universitas Airlangga Surabaya, Herlambang Perdana Wiratraman mengatakan, Jumat (25/1), putusan hakim Mahkamah Agung yang membatalkan putusan bebas Pengadilan Negeri Mataram terhadap Baiq Nuril, menunjukkan kualitas peradilan di Indonesia yang belum melihat latar belakang masalah sebagai salah satu pertimbangan dalam mengambil keputusan.
“Putusan ini sungguh tidak mencerminkan kualitas yang baik karena tidak didasarkan pada pertimbangan yang lengkap, dengan konteks bahwa ada kasus pelecehan seksual yang menimpa Baiq Nuril,” kata Herlambang.
“Yang kedua, Mahkamah Agung juga absen, atau alpa tidak menggunakan Peraturan Mahkamah Agung yang dibuatnya sendiri terkait dengan perempuan yang berhadapan dengan kasus hukum, karena dalam kasus ini memperlihatkan adanya relasi kuasa yang tidak seimbang, dan itu tidak dibaca sungguh-sungguh oleh hakim di Mahkamah Agung,” kata Herlambang menambahkan.
Ketiga, kata Herlambang, paradigma putusan ini sangat formal sehingga tidak cukup memberikan rasa kepastian hukum yang sungguh-sungguh, sekaligus tidak mencapai tujuan dari putusan itu sendiri untuk menciptakan keadilan publik.”
UU ITE Jerat Korban
Pimpinan Sidang Eksaminasi, Devi Rahayu, dari Fakultas Hukum Universitas Trunojoyo, Madura mengatakan dalam kasus itu, Baiq Nuril sebenarnya adalah korban kasus pelecehan. Tapi justru kemudian dia terjerat hukum akibat penggunaan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) pasal 27 ayat (1).
Menurut Devi , dalam kasus pelecehan seksual terhadap perempuan,meski secara dilakukan secara verbal,ada persoalan tekanan psikologi terhadap korban. Hal itu terlihat dari fakta bahwa Baiq menyimpan persoalan pelecehan itu selama satu tahun, kata Devi.
“..bahwa ini ‘seperti apa keadaan saya ini sebenarnya mau berakhir kapan.’ Sehingga kemudian paling tidak itu bisa dijadikan dasar bahwa nantinya jika ada kasus-kasus terutama yang menyangkut perempuan, jangan sampai yang itu berkaitan dengan teknologi. Penggunaan alat-alat digital itu malah justru perempuan yang menjadi korban malah dibalik sebagai pelaku, dengan memanfaatkan keberadaan Undang-Undang ITE itu sendiri,” papar Devi.
Sosiolog dan Pakar Hukum dari Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Ampel Surabaya, Anis Farida, mengungkapkan kasus hukum yang menimpa Baiq Nuril merupakan bukti bahwa masyarakat dan cara pandang hukum di Indonesia masih menempatkan perempuan pada posisi di bawah laki-laki. Dalam konteks kesusilaan, perempuan selalu ditempatkan pihak yang bersalah dibandingkan laki-laki.
“Ini sebenarnya tidak lepas dari kultur kita juga, di mana perempuan posisinya subordinat, sehingga laki-lakilah yang selalu biasanya lebih diutamakan. Perspektif hukum kita pun cara pandangnya adalah cara pandang lelaki, makanya dalam misalnya banyak masalah di KUHP yang kemudian memosisikan perempuan itu justru yang seharusnya korban, tapi dianggap sebagai sumber masalah,” kata Anis menjelaskan.
“Misalnya, dalam kasus-kasus kesusilaan, apakah itu pelecehan seksual atau pun perkosaan, seringkali kan biasanya dilihatnya, oh iya memang dia itu ganjenlah, oh iya dia kan suka pakaiannya seksi, kan itu menyalahkan, padahal dia sebagai korban tapi justru disalahkan.”
Hasil Sidang Eksaminasi akan Dikirim ke MA
Pakar hukum Herlambang Perdana Wiratraman menambahkan, hasil sidang eksaminasi ini akan dikirim ke Mahkamah Agung dalam bentuk laporan amicus curiae atau sahabat peradilan, untuk menunjukkan dan mengingatkan adanya banyak kelemahan dan ketidakadilan dari putusan Mahkamah Agung yang memvonis Baiq Nuril 6 bulan penjara dan denda Rp 500 juta.
Herlambang percaya bahwa hasil eksaminasi ini akan menjadi pertimbangan majelis hakim Mahkamah Agung, untuk kemudian membebaskan Baiq Nuril dari segala tuntutan.
“Kami yakin dengan dampak atau efek yang pernah kami lakukan, berbasis pengalaman kami. Kami menyelenggarakan eksaminasi publik, yang juga difasilitasi pusat studi-pusat studi yang ada, kemudian kami serahkan ke majelis hakim di pengadilan, atau pun di Mahkamah Agung, dan mereka mempertimbangkan, dan bahkan membalik putusan. Ketika kami memberikan argumen yang rasional terkait dengan putusan-putusan ini,” kata Herlambang menambahkan. [pr/em]