Insiden antara Indonesia dan China di Natuna Utara kembali panas setelah sejumlah kapal penangkap ikan milik China memasuki perairan Natuna secara ilegal Desember lalu.
Indonesia sempat memanggil Duta Besar China di Jakarta dan menyampaikan protes keras atas pelanggaran di Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE), termasuk kegiatan penangkapan ikan ilegal serta pelanggaran kedaulatan oleh pasukan penjaga pantai China.
Anggota Komisi pertahanan dan Luar Negeri Dewan Perwakilan Rakyat Nurul Qomaril Arifin – atau dikenal dengan Nurul Arifin – menyarankan agar pemerintah Indonesia melakukan diplomasi tingkat tinggi tinggi dengan pemerintah China terkait kasus Natuna ini agar menghasilkan jalan keluar yang baik.
Jika China tidak mau berdamai, lanjutnya, maka sebaiknya kasus ini dibawa ke Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sehingga dapat mendudukan masalah tersebut secara proporsional. Pemerintah harus meningkatkan pertahanan, tambahnya. Ia mengapresiasi pendekatan pemerintah dalam menghadapi konflik dengan China, namun mengkritisi kebijakan memobilisasi nelayan dari wilayah Pantura dan lainnya ke wilayah Natuna.
“Respon yang emosional, saya kira tidak perlu juga dilakukan. Nelayan-nelayan itu tidak biasa mencari ikan di wilayah Natuna, tidak mudah orang harus beradaptasi dengan satu situasi laut yang berbeda dengan daerah-daerah yang menjadi wilayah yang menjadi tempat dia mencari ikan. Itu tidak membantu, seperti menghadapkan nelayan dengan nelayan,” ujar Nurul.
Pakar Hukum Laut Internasional Prof. Dr. Hasyim Djalal mengatakan situasi yang sempat memanas antara Indonesia dengan China yang terjadi di Natuna utara merupakan sisi lain dari pertengkaran Laut China Selatan, wilayah yang diklaim oleh beberapa negara ASEAN lain – yaitu Malaysia, Vietnam dan Filipina. Menurutnya klaim China di Laut China Selatan tidak jelas.
“Mengadakan berbagai meeting dan diskusi dengan China tentang apa yang sesungguhnya di klaim oleh China di Laut China Selatan itu karena tidak jelas dengan garis 9-dash line (sembilan garis putus China.red) itu,” kata Hasyim.
Pemerintah Indonesia menyatakan tidak akan pernah mengakui sembilan garis putus China (garis batas yang ditetapkan China) karena penarikan garis tersebut bertentangan dengan Konvensi Hukum Laut PBB (United Nations Convention for the Law of the Sea/UNCLOS) pada 1982.
Menteri Luar Negeri Indonesia Retno Marsudi menekankan bahwa klaim apapun oleh pihak manapun harus dilakukan sesuai dengan hukum internasional, termasuk UNCLOS 1982.
Menurutnya Indonesia akan terus menolak klaim yang tidak diakui oleh hukum internasional. Sebagaimana negara lain, Retno Marsudi menggarisbawahi isu kedaulatan dan integritas teritorial merupakan hal yang tidak dapat ditawar sama sekali.
Menlu Retno menegaskan kedaulatan dan wilayah teritorial Indonesia tidak dapat ditawar oleh siapapun dan kapanpun. [fw/em]