Pengadilan Negeri Balikpapan, Kalimantan Timur pada 17 Juni 2020 menjatuhkan vonis di bawah satu tahun penjara terhadap tujuh aktivis Papua yang didakwa melakukan makar. Majelis hakim memutus mereka bersalah karena terlibat demonstrasi anti-rasisme di Papua pada Agustus tahun lalu.
Ketujuh aktivis Papua tersebut adalah Ketua II Badan Legislatif United Liberation Movement for West Papua Buchtar Tabuni divonis 11 bulan (tuntutan 17 tahun), Ketua Umum Komite Nasional Papua Barat (KNPB) Agus Kossay divonis 11 bulan (tuntutan 15 tahun).
Sementara Ketua KNPB Mimika Stefanus Itlay divonis 11 bulan (tuntutan 15 tahun), Presiden BEM Universitas Sains dan Teknologi Jayapura Alexander Gobay divonis 10 bulan (tuntutan 10 tahun), mantan Ketua BEM Universitas Cenderawasih Ferry Kombo divonis 10 bulan (tuntutan 5 tahun), mahasiswa Universitas Cendrawasih Hengky Hilapok divonis 10 bulan (tuntutan 5 tahun), dan mahasiswa Universitas Cendrawasih Irwanus Uropmabin divonis 10 bulan (tuntutan 5 tahun).
Kasus mereka menjadi polemik karena didakwa menggunakan pasal makar, yang bagi kalangan aktivis hak asasi manusia merupakan pasal karet.
Dalam diskusi bertajuk “Tahanan Politik Papua: Benarkah Mereka Makar?” yang digelar secara virtual di Jakarta, Sabtu lalu (20/6), Dr Adriana Elizabeth dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menjelaskan persoalan dasar yang menjadi sumber konflik di Papua adalah diskriminasi rasial terhadap orang asli Papua.
Oleh karena itu, tambah Adriana, tidak mengherankan ketika tindakan rasisme terhadap sekelompok mahasiwa Papua di Surabaya langsung menyulut demonstrasi besar-besaran di Papua karena kasus rasisme itu mengganggu identitas Papua mereka.
Adriana menambahkan sebelumnya di Papua ada upaya membentukan masyarakat Papua dengan warga pendatang tapi gagal karena masyarakat Papua dikenal toleran.
"Isu agama tidak laku di Papua karena orang Papua itu sangat toleran. Itu sejarah panjang. Kalau kita mau belajar toleransi itu dari Papua. Tapi begitu masalah identitas ke-Papua-an diusik, di situ kita lihat reaksinya sangat masif sampai ada demo berseri dan sebagainya,” paparnya.
Menurut Adriana, kasus rasisme terhadap mahasiswa Papua di Surabaya menunjukkan rasisme itu bukan hanya ada di Papua atau Indonesia. Rasisme itu ada di banyak negara, terutama di negara-negara yang masyarakatnya majemuk. Adriana menegaskan rasisme ini akan selalu berpotensi menimbulkan masalah ketika ada pihak-pihak yang melihat perbedaan sebagai sebuah persoalan.
Stigma bahwa Papua adalah daerah konflik dan kentalnya isu separatisme membuat konflik di Papua mirip benang kusut yang sulit diuraikan. Yang sangat memprihatinkan, ujar Adriana, adalah kerugian fisik dan non-fisik akibat demo besar-besaran akhir tahun lalu.
Ia menyerukan upaya serius membangun kembali relasi sosial antara warga asli Papua dan pendatang agar tercipta keharmonisan di Papua. Ini dapat dilakukan dengan pembentukan forum bersama guna membahas persoalan yang muncul diantara kedua kelompok tersebut, karena persoalan tidak akan pernah selesai jika masih menggunakan dikotomi: NKRI dan kelompok separatis.
Otis Tabuni Kembali Paparkan Soal Diskriminasi terhadap Warga Asli Papua
Dalam kesempatan yang sama intelektual muda dari Papua, Otis Tabuni, mengatakan tindakan rasisme terhadap sekelompok mahasiswa Papua di Surabaya tahun lalu, telah mengganggu harkat warga Papua secara umum.
"Persoalan rasisme di Surabaya yang dengan sebutan monyet dan sebagainya itu merupakan gangguan terhadap harkat. Kalau bicara harkat maka di situ ada martabat. Kalau bicara martabat maka disitu ada nilai. Kalau bicara soal nilai maka di situ ada kedudukan. Oleh sebab itu bagi saya, persoalan rasisme di Surabaya merupakan gangguan terhadap harkat dan martabat manusia Papua," ujar Otis.
Ia menilai sangat wajar warga Papua di Papua atau luar Papua mengungkapkan kemarahan mereka lewat demonstrasi dan ia tidak setuu jika tujuh aktivis Papua kemudian diadili dengan tudingan merencanakan makar terhadap pemerintah Indonesia.
Otis juga meminta pemerintah menghapus stigma separatis dialamatkan kepada aktivis Papua yang memperjuangkan hak-hak warga Papua. Dia menambahkan apa yang diperjuangkan ketujuh aktivis Papua yang ditangkap di Surabaya merupakan perjuangan untuk menciptakan kesetaraan ras.
Apa Benar Warga Asli Papua Didiskriminasi?
Diwawancarai secara terpisah, pengamat intelijen Stanislaus Riyanta menyampaikan ketidaksetujuannya jika Papua dinilai masih diselimuti isu rasisme.
“Ini jelas tidak benar, apalagi jika ada yang menyebut adanya perlakuan diskriminatif terhadap warga asli Papua. Bagaimana mungkin ada diskriminasi, wong sekarang ini kepala daerah, komandan pusat teritorial Angkatan Darat hingga Pangdam semuanya putra asli daerah. Yang jarang diangkat justru perlakuan diskriminatif warga asli Papua terhadap warga non-Papua,” ujarnya.
Namun Stanislaus setuju untuk lebih sering melakukan dialog bersama untuk membuka diri satu sama lain terhadap persoalan-persoalan lama dan baru yang masih menyelimuti Papua. [fw/em]