Tautan-tautan Akses

Komisi Yudisial Selidiki Maraknya Potongan Hukuman Koruptor


Seorang pria mengenakan jaket bertuliskan "Reformasi Dikorupsi" dalam demonstrasi di Jakarta, 21 Oktober 2019. (Foto: Reuters)
Seorang pria mengenakan jaket bertuliskan "Reformasi Dikorupsi" dalam demonstrasi di Jakarta, 21 Oktober 2019. (Foto: Reuters)

Komisi Yudisial mulai menyelidiki secara mendalam potongan hukuman 22 narapidana kasus korupsi oleh Mahkamah Agung.

Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat berdasarkan hasil proses peninjauan kembali selama 2019-2020, Mahkamah Agung telah memangkas hukuman terhadap sedikitnya 22 narapidana kasus korupsi.

Mereka yang menerima potongan hukuman itu antara lain pengacara OC Kaligis, dari 10 tahun menjadi tujuh tahun penjara dan mantan ketua Dewan Perwakilan daerah (DPD) Irman Gusman yang mendapat diskon hukuman menjadi tiga tahun dari sebelumnya 4,5 tahun penjara.

Ketua MA Dr. M. Syarifuddin akan menjabat sampai 2025. (Foto: mahkamahagung.go.id)
Ketua MA Dr. M. Syarifuddin akan menjabat sampai 2025. (Foto: mahkamahagung.go.id)

Menanggapi maraknya pengurangan hukuman bagi narapidana korupsi tersebut, Ketua Komisi Yudisial Ahmad Jayus mengatakan lembaganya mulai menyelidiki secara lebih mendalam informasi itu, apakah murni putusan hakim atau ada hal lain yang dilanggar.

"Kalau misalnya kita menemukan ada dugaan, misalnya 'oh ini ada menerima sesuatu atau ini bertemu dengan seseorang yang terkait dengan perkara,' baru kita minta keterangan dari semua pihak yang terlibat di situ," kata Jayus.

Jayus menekankan sepanjang hakim masih menjaga independensi dan akuntabilitasnya, Komisi Yudisial akan menghormati putusan mereka.

Pukulan Berat

Manajer Riset Transparency International Indonesia (TII) Wawan Heru Suyatmiko mengakui maraknya pengurangan masa hukuman oleh Mahkamah Agung bagi narapidana kasus korupsi merupakan pukulan berat bagi upaya pemberantasan korupsi di Indonesia. Sebab Mahkamah Agung sedianya menjadi benteng terakhir untuk memberi efek jera bagi narapidana kasus korupsi namun yang terjadi sebaliknya.

"Tentunya ini mencederai keadilan masyarakat karena masyarakat berharap narapidana korupsi yang bukan hanya menimbulkan kerugian keuangan negara tetapi juga menimbulkan dampak sosial yang panjang, tapi hukumannya. Beberapa napi koruptor yang sudah dipidana minimal, masih dapat korting lagi," ujar Wawan.

Sebuah banner berisi ajakan kepada seluruh warga untuk melawan korupsi dipasang di tembok kantor KPK di Jakarta (foto: dok).
Sebuah banner berisi ajakan kepada seluruh warga untuk melawan korupsi dipasang di tembok kantor KPK di Jakarta (foto: dok).

Beberapa bulan lalu koalisi masyarakat sipil sempat mengapresiasi munculnya Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2020 tentang tata cara dan pemidanaan terhadap terdakwa kasus korupsi, yang diterbitkan pada 24 Juli lalu. Aturan itu membagi kejahatan korupsi dalam lima kategori, yakni paling berat, berat, sedang, ringan, dan paling ringan.

Kategori korupsi paling berat menyebabkan kerugian negara lebih dari Rp 100 miliar dengan hukuman penjara seumur hidup dan denda Rp 800 juta hingga Rp 1 miliar. Kategori korupsi berat menyebabkan kerugian negara Rp 25-100 miliar dengan hukuman penjara 13-16 tahun dan denda Rp 650-800 juta.

Kategori korupsi sedang menyebabkan kerugian negara Rp 1-25 miliar dengan hukuman penjara 10-13 tahun dan denda Rp 500-650 juta. Kategori korupsi ringan menyebabkan kerugian negara Rp 200 juta sampai Rp 1 miliar dengan hukuman penjara 8-10 tahun dan denda Rp 400-500 juta.

Kategori korupsi paling ringan menyebabkan kerugian negara hingga Rp 200 juta dengan hukuman penjara 3-4 tahun dan denda Rp 150-200 juta.

Wawan menegaskan pernyataan juru bicara Mahkamah Agung Andi Samsan Nganro yang menyebutkan potongan hukuman tersebut sebagai keadilan bagi narapidana korupsi telah melukai rasa keadilan masyarakat dan tidak menimbulkan efek jera.

Menurutnya sebagian mantan narapidana kasus korupsi yang belum mendapat hukuman maksimal dan tidak dimiskinkan, umumnya kembali berpolitik dan di beberapa tepat menang dalam pemilihan umum.

Sehingga akhirnya para pejabat publik berpikir melakukan korupsi itu menguntungkan karena vonis hukuman di tingkat pengadilan negeri ringan, sementara di tingkat Mahkamah Agung akan ada pengurangan hukuman. Alhasil, lanjut Wawan, pandangan semacam itu memunculkan calon-calon koruptor.

Wakil Ketua KPK Basariah Panjaitan bersama para pejabat KPK dengan bukti uang tunai yang disita dari anggota DPR yang ditetapkan sebagai tersangka korupsi, di Jakarta, 17 April 2019. (Foto: AFP)
Wakil Ketua KPK Basariah Panjaitan bersama para pejabat KPK dengan bukti uang tunai yang disita dari anggota DPR yang ditetapkan sebagai tersangka korupsi, di Jakarta, 17 April 2019. (Foto: AFP)

Komisi Yudisial diminta segera memeriksa hakim-hakim yang menangani Peninjauan Kembali kasus-kasus korupsi yang akhirnya memutuskan pengurangan hukuman bagi narapidana kasus rasuah. Sebab kalau hal tersebut dibiarkan, akan menjadi preseden buruk ke depannya.

Komisi Yudisial tambahnya juga bisa bekerja sama dengan Badan pengawas Mahkamah Agung.

Dia menambahkan pensiunnya Hakim Artidjo Alkostar juga menjadi salah satu sebab maraknya narapidana kasus korupsi mengajukan Peninjauan Kembali untuk mendapat pengurangan hukuman. Artidjo merupakan sosok hakim di Mahkamah Agung yang tegas dan selalu memperberat hukuman koruptor yang mengajukan peninjauan kembali.

Komisi Yudisial Selidiki Maraknya Potongan Hukuman Koruptor
mohon tunggu

No media source currently available

0:00 0:02:41 0:00

Wawan mengharapkan fenomena ini harus dijadikan tonggak untuk memperbaiki sistem dan kinerja Mahkamah Agung.

Juru bicara Mahkamah Agung Andi Samsan Nganro menyatakan sepanjang tahun 2019-2020 ada 196 narapidana korupsi yang mengajukan peninjauan kembali (PK), di mana 124 di antaranya sudah diputus.

Dari 124 kasus yang diputus itu, 70an kasus berkas PK ditolak, 30an dikabulkan dan enam tidak dapat diterima. Andi membantah jika dikatakan lembaganya tidak berkomitmen terhadap pemberantasan korupsi. [fw/em]

Recommended

XS
SM
MD
LG