Ketika pandemi virus corona menyelimuti dunia pada awal 2020, banyak negara tergagap menanganinya. Di Indonesia, pemerintah baru menetapkan status darurat kesehatan pada akhir Maret atau tiga bulan lebih sejak kasus pertama terdeteksi di Wuhan, China dan 29 hari setelah kasus pertama tercatat di Indonesia.
“Ini luar biasa.Karena yang pertama, penularannya adalah dari manusia ke manusia. Dan banyak hal yang sebenarnya belum kita ketahui bagaimana upaya kita untuk menanganinya,” kata Siti Nadia Tarmizi, Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Langsung (P2PML), Kementerian Kesehatan, kepada VOA (29/12/2020).
Selama 10 bulan terakhir, pemerintah berusaha meredam penyebaran virus tersebut. Namun, di penghujung 2020, sudah lebih dari 740 ribu orang terinfeksi Covid-19, termasuk lebih dari 22 ribu orang meninggal. Indonesia menjadi negara dengan kasus Covid-19 terparah di Asia Tenggara.
Ahli epidemiologi dari Perhimpunan Ahli Epidemiologi Indonesia (PAEI), Masdalina Pane, menilai pemerintah perlu memperbaiki banyak hal dalam penanganan pandemi Covid-19.
Pertama, soal masih digunakannya rapid diagnostic test antibodi yang dinilai memiliki sensitivitas “tidak terlalu baik.” Padahal, ujarnya, banyak para pakar sudah mengkritik metode ini.
Kedua, upaya memutus rantai penularan yang belum tepat karena proses karantina kontak erat tidak dilakukan secara sistematis.
Menurut Masdalina, pada awal virus corona terdeteksi di Indonesia, seharusnya pemerintah cukup mengarantina kontak erat dalam skala kecil, seperti karantina rumah. Cara ini dinilai lebih efektif mengendalikan pandemi, daripada menerapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang melumpuhkan ekonomi masyarakat.
Ketiga, kapasitas pengujian juga belum memenuhi standar yang ditetapkan Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO), yaitu 1 per 1.000 penduduk per minggu, kecuali di Jakarta. Keempat, kepatuhan pemerintah daerah untuk mengikuti pedoman pengendalian juga dipertanyakan.
Poin kelima, komunikasi publik pemerintah yang salah kaprah.
Pada awal pandemi, kata Masdalina, pemerintah seolah-olah ingin menunjukkan bahwa pandemi sudah terkendali. Tujuannya mungkin untuk menenangkan masyarakat. Namun hal itu justru membuat masyarakat mengabaikan protokol kesehatan.
“Sama seperti sekarang. Ketika dikatakan bahwa ‘kasus kita sedikit, sembuhnya banyak,’ sehingga masyarakat itu menjadi abai dengan berbagai protokol. ‘Ini nggak berbahaya. tetapi fakta yang kita lihat adalah (jumlah) kasus kita nggak turun-turun sampai hari ini, (angka) kematian kita terutama,” ujar Masdalina.
Namun, Masdalina mengapresiasi komunikasi publik Menteri Kesehatan baru, Budi Gunadi Sadikin, saat menerangkan perkembangan penanganan pandemi di Istana Negara pada 29 Desember 2020.
Ia berharap komunikasi publik pemerintah akan jauh lebih positif, terutama dalam menginformasikan program vaksinasi.
Rapor Merah
Anggota DPR dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), yang juga ketua tim penyusun “Buku Putih Penanganan Pandemi Covid-19 di Indonesia”, Netty Prasetiyani, memberi rapor merah kepada pemerintah untuk penanganan pandemi.
Ia mencontohkan delapan skema bantuan sosial yang disalurkan pemerintah dililit banyak masalah yang berakar pada pendataan mengenai kelompok penerima manfaat.
“Dan ketika kita kejar, misalnya, yang tidak dapat bantuan, ke mana mereka akan mengakses bantuan dari pemerintah? Ya silakan daftar Kartu Pra Kerja. Tapi batu sandungannya adalah tidak semua warga kemudian akrab dengan teknologi. Apalagi kalau pekerjaan sektor informal,” jabar Netty, yang juga Ketua Tim Covid-19 Fraksi PKS, kepada VOA.
Netty meminta pemerintah memberikan penjelasan terkait program vaksinasi, yang menurutnya, selalu digadang-gadang pemerintah sebagai alat pemutus pertarungan melawan pandemi.
Netty meminta pemerintah menerangkan alasan mendatangkan vaksin Sinovac yang ia sebut “diragukan efektivitasnya.” Seperti Masdalina, Netty minta pemerintah memperbaiki komunikasi publik untuk meyakinkan masyarakat yang cenderung skeptis terhadap vaksin.
“Saya kalau wawancara dengan berbagai media, banyak dialog interaktif masyarakat dengan sangat sarkastik mengatakan, ‘ya kenapa nggak pejabat dulu yang disuntik? Kalau manjur baru rakyat,” ungkap Netty.
“Best Scenario”
Pemerintah mengaku terus mengupayakan berbagai hal untuk menangani pandemi. Mulai dari menambah jumlah laboratorium untuk memproses hasil tes Covid-19, meningkatkan kompetensi sumber daya manusia dalam waktu singkat, hingga menambah jumlah rumah sakit rujukan.
Direktur PP2PML, Kementerian Kesehatan, Siti Nadia Tarmizi, mengatakan pihaknya terus menerima masukan dari para ahli, mengingat masih banyaknya hal yang belum diketahui tentang Covid-19. Termasuk obat yang tepat untuk menangani penyakit tersebut.
“Jadi ini benar-benar suatu pengalaman. Artinya kita belajar untuk mengatasi pandemi ini, sekaligus juga berbagai perubahan-perubahan, penyesuaian-penyesuaian untuk kita selesaikan masalah ini,” jelas Siti kepada VOA, Selasa (29/12/2020).
“Ini adalah suatu best scenario yang bisa kita lakukan,” ujarnya.
Tantangan terbesar yang dihadapi pemerintah dalam menangani pandemi adalah perilaku masyarakat. Dari survei yang dilakukan Satgas Penanganan Covid-19, kepatuhan masyarakat menjalankan Perilaku 3M – menggunakan masker, menjaga jarak dan mencuci tangan – menurun. Padahal, 3M adalah kunci menurunkan angka penularan.
“Masih ada masyarakat yang merasa ini (pandemi Covid-19, red.) bukan atau tidak nyata. Jadi hanya dianggap seperti konspirasi, tidak percaya adanya Covid,” ungkap Siti.
Untuk itu, pihaknya akan mengencarkan sosialisasi protokol kesehatan dan informasi terkait pandemi Covid-19 melalui berbagai media, terutama media sosial yang kerap menjadi sarang peredaran berita bohong atau hoaks.
Selain itu, Siti berharap, kesediaan Presiden Joko Widodo untuk menjadi orang pertama yang divaksinasi, bisa menjadi contoh untuk masyarakat.
Pandemi di Masa Depan
Dalam peringatan Hari Kesiapsiagaan Epidemi Internasional pada 27 Desember 2020, Direktur Jenderal WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus, mendorong negara-negara untuk mempersiapkan diri menghadapi pandemi yang tak terhindarkan di masa depan.
Masdalina Pane memandang pandemi Covid-19 saat ini adalah uji kasus yang sempurna untuk mengevaluasi sistem kesehatan nasional semua negara, termasuk Indonesia. Meski Indonesia pernah menghadapi wabah lain, seperti wabah virus H1N1 pada 2009, tak satu pun terjadi dengan skala semasif pandemi Covid-19.
“Harus ada perubahan besar atau perombakan pada sistem kesehatan nasional kita, terutama untuk mengantisipasi terjadinya pandemi di masa yang akan datang,” ujar Masdalina.
Sementara Netty Prasetiyani mengatakan bahwa ada keinginan DPR untuk merevisi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular. Ketua Satgas Penanganan Covid-19, Doni Monardo, juga mengusulkan revisi Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan.
“Jangan sampai pandemi Covid-19 ini tidak dijadikan pelajaran untuk bisa merevisi secara komprehensif terhadap Undang-Undang Wabah Penyakit Menular maupun Undang-Undang Kekarantinaan Kesehatan,” kata Netty.
Saat ditanya apa strategi pemerintah untuk mengantisipasi pandemi lain di masa depan, Siti Nadia Tarmizi, yang juga juru bicara Vaksinasi Covid-19 Kemenkes mengatakan, pemerintah akan menggunakan evaluasi penanganan pandemi Covid-19 untuk memperbaiki pedoman penanganan pandemi yang sudah ada.
Pedoman itu dibuat dalam kerangka National Action Plan on Health Security Agenda atau Rencana Aksi Penguatan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat yang diluncurkan akhir 2019 atas rekomendasi WHO.
“Jadi mungkin setelah pandemi Covid-19 ini tetap menggunakan blueprint yang ada. Kita bisa memperkuat ataupun menambah hal-hal yang mungkin harus kita tambahkan dalam rangka kesiapan kita menghadapi pandemi ini,” ujar Siti.[rd/em/ft]