Menko Polhukam Mahfud Md telah mengeluarkan Keputusan Menteri Koordinator Polhukam Nomor 22 Tahun 2021 tentang Tim Kajian Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik. Tugas Tim Kajian UU ITE ini di antaranya merumuskan kriteria implementasi dan menelaah atas beberapa pasal dalam UU ITE yang dianggap multitafsir.
Tim ini terdiri dari sejumlah menteri dan pejabat di Kemenko Polhukam, Kementerian Hukum, Kementerian Komunikasi, Jaksa Agung dan Polri. Kata Mahfud, tim ini akan bertugas sekitar tiga bulan ke depan dan dapat dibantu beberapa pihak seperti akademisi, praktisi dan tenaga ahli dalam pelaksanaannya.
"Pemerintahan yang menganut sistem demokrasi akan membuka ruang diskusi untuk kemudian mengambil sikap resmi. Kalau keputusan akan mengambil revisi akan kita sampaikan ke DPR," jelas Mahfud saat konferensi pers di Jakarta, Senin (22/2/2021).
Mahfud menjelaskan UU ITE masuk ke dalam program legislasi nasional (prolegnas) 2024 sehingga masih memungkinkan untuk direvisi. Selama menunggu kajian, pemerintah juga telah meminta kepolisian dan kejaksaan untuk memastikan penerapan pasal-pasal UU ITE agar tidak multitafsir.
Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Johnny Gerard Plate menambahkan UU ITE merupakan salah satu payung hukum bagi kebebasan berpendapat, berkumpul dan berserikat. Menurutnya, UU ITE telah digugat sebanyak 10 kali ke Mahkamah Konstitusi dan hasilnya ditolak. Kendati demikian, kata dia, pemerintah masih membuka peluang untuk revisi UU ITE untuk kebaikan masyarakat.
"Dan kaitannya dengan arahan presiden, Kominfo akan menangani tim pedoman pelaksanaan UU ITE, khususnya yang terkait dengan pasal krusial yaitu Pasal 27, Pasal 28, dan Pasal 29," jelas Johnny Plate.
Johnny menambahkan pedoman pelaksanaan yang akan disusun kementeriannya akan menjadi acuan bagi aparat penegak hukum dalam menindaklanjuti kasus UU ITE, termasuk di ranah digital. Ditambah lagi, kata dia, masyarakat Indonesia kini telah bertransformasi ke ruang digital sehingga ranah digital membutuhkan payung hukum yang memadai.
Direktur LBH Pers Ade Wahyudi mempertanyakan niat pemerintah untuk merevisi Undang-undang ITE. Sebab, belum ada draf revisi yang dibuat pemerintah meskipun wacana tentang revisi tersebut sudah disampaikan pemerintah. Di samping itu, publik dan korban UU ITE juga tidak dilibatkan dalam Tim Kajian UU ITE yang dibuat pemerintah.
"Bagi LBH Pers, interpretasi tanpa revisi itu hal sia-sia. Kalau mau interpretasi draf revisinya dulu disediakan, artinya ada komitmen pemerintah mengubah UU ITE," jelas Ade kepada VOA, Senin (22/2/2021).
Ade khawatir interpretasi pemerintah terhadap pemerintah justru akan menguatkan praktik kriminalisasi terhadap masyarakat dengan menggunakan UU ITE yang selama ini marak di masyarakat.
Selain itu, LBH Pers juga menyoroti pemidanaan terhadap ekspresi yang tidak hanya diatur dalam UU ITE saja. Antara lain ketentuan mengenai defamasi atau pencemaran nama baik dalam Pasal 310 dan 311 KUHP, penodaan agama dalam Pasal 156a KUHP dan tindak pidana menyebarkan berita bohong dalam Pasal 14 dan Pasal 15 UU No 1 Tahun 1946 Tentang Peraturan Hukum Pidana. Namun, pemerintah tidak membuatkan pedoman untuk aturan tersebut seperti UU ITE. [sm/ab]