Biksu di Myanmar memimpin perjuangan awal melawan pemerintahan militer, tetapi terpecah pendapat mengenai kudeta yang mengakhiri demokrasi yang baru lahir di negara itu, dengan sebagian pemimpin terkemuka agama Buddha membela junta yang baru.
Pergolakan selama tiga bulan setelah Februari lalu setelah tentara menangkap pemimpin sipil Aung San Suu Kyi dan sekutu-sekutu utamanya, memicu tentangan yang sengit dan meluas.
Demonstran turun ke jalan-jalan hampir setiap hari setelah itu, menghadapi ancaman kekerasan mematikan dari pasukan keamanan yang telah menembak mati ratusan orang dalam upaya menundukkan massa.
Bergabung dengan demonstran adalah sejumlah besar biksu muda berjubah warna merah tua yang telah menentang perintah agama agar tidak terlibat aktivitas politik untuk menyatakan kecaman mereka terhadap para jenderal.
“Saya bersedia melepaskan status biksu saya yang berharga dan ambil bagian dalam revolusi bersama dengan rakyat,” kata Shwe Ohh Sayardaw, biksu berusia 44 tahun yang belakangan ini berpindah dari biara ke biara dalam upaya menghindari penangkapan.
Perjuangan melawan rezim militer telah menarik dukungan luas dan vokal dari berbagai kelompok masyarakat Myanmar dan tidak terkecuali dari kalangan biksu.
Pasukan keamanan mengawasi dengan cermat aktivisme antikudeta di biara-biara, dan sekitar selusin biksu telah ditangkap, kata sebuah kelompok pemantau lokal.
Tetapi sebuah faksi garis keras projunta di kalangan para biksu juga telah membela junta baru itu sebagai pelindung identitas warga yang mayoritasnya umat Buddha dari ancaman pengambilalihan secara perlahan-lahan oleh umat Islam.
Di antara kelompok itu adalah Parmaukkha, biksu ultranasionalis yang memiliki banyak pengikut, yang pernah ditangkap karena menyulut kebencian terhadap kaum minoritas Muslim Rohingya di Myanmar.
Mempertahankan Suu Kyi di puncak kekuasaan akan membuat “punahnya agama, etnik dan keseluruhan negara kami,” katanya. [uh/ab]