Pemerintah menegaskan vaksin COVID-19 bisa menjadi salah satu faktor dalam upaya mengurangi risiko kesakitan yang parah dan mencegah kematian akibat virus corona. Namun, vaksinasi saja dianggap belum cukup mampu untuk memberikan proteksi prima dalam mencegah penularan.
Menurut Juru Bicara Satuan Tugas (Satgas) Penanganan COVID-19 Prof Wiku Adisasmito, seluruh jenis upaya pengendalian COVID-19 sifatnya hanya melengkapi dan tidak berdiri sendiri.
“Vaksinasi saja tidak belum cukup mampu memberikan proteksi prima dalam mencegah penularan karena pada prinsipnya seluruh jenis upaya pengendalian COVID-19 saling komplemen, tidak bisa berdiri sendiri, dan dijalankan dalam waktu yang bersamaan,” ujar Wiku, dalam telekonferensi pers di Graha BNPB, Jakarta, Jumat (28/5).
Sementara itu, ahli epidemiologi dari Universitas Griffith Australia Dicky Budiman, mengatakan sejauh ini efektivitas vaksin COVID-19 sudah terbukti dalam upaya menekan risiko kesakitan dan kematian akibat virus corona, seperti halnya vaksin Sinovac. Namun, ia menekankan bahwa bahwa penurunan atau peningkatan kasus COVID-19 di tengah-tengah masyarakat bersifat multifaktor, sehingga tidak bisa hanya dikaitkan dengan faktor vaksin saja.
“Banyak sekali (penyebab kenaikan dan penurunan kasus corona -red). Apalagi kalau bicara varian baru, lebih cepat menular, menurunkan efikasi (keampuhan -red) vaksin. Lalu apakah orang itu memang ketika sudah divaksin, antibodi yang diharapkan sudah timbul maksimal? Banyak sekali faktornya,” katanya.
Jadi, tambah Dicky, masyarakat tidak bisa hanya menitikberatkan pada vaksin tetapi juga menerapkan 3T, yaitu pemeriksaan dini (testing), pelacakan (tracing), dan perawatan (treatment). Selain itu juga masyarakat juga harus disiplin dalam melakukan 5M, yaitu memakai masker, mencuci tangan dengan sabun, menjaga jarak, menjauhi kerumunan dan membatasi interaksi.
Vaksin Sinopharm
Pada kesempatan yang sama, Wiku memastikan semua vaksin COVID-19 yang digunakan di Indonesia, sudah mendapatkan rekomendasi dari Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO), termasuk Sinopharm buatan China.
Ia menjelaskan, vaksin Sinopharm dalam studi klinik fase III yang dilakukan lebih dari 42 ribu subyek di Uni Emirat Arab, dan beberapa negara, menunjukkan efikasi atau keampuhan vaksin sebesar 78,02 persen. Selain itu, berdasarkan hasil pengukuran imunogenitas penggunaan vaksin tersebut menunjukkan pembentukan antibodi yang tergolong tinggi pada orang dewasa dan lanjut usia (lansia).
Meski begitu, Wiku belum mengetahui dengan pasti apakah vaksin Sinopharm tersebut cukup ampuh untuk menekan angka kesakitan yang parah dan dapat menurunkan risiko kematian akibat COVID-19. Vaksin Sinopharm dipakai dalam Program Vaksinasi Gotong Royong di Tanah Air, di mana para pengusaha membeli vaksin untuk diberikan kepada karyawannya secara gratis.
“Untuk mengetahui efektivitas atau kemampuannya dalam mengurangi resiko penularan di masyarakat, maka masih perlu adanya studi lanjutan,” ujar Wiku menjawab pertanyaan VOA.
Efektivitas Vaksin COVID-19
Sebelumnya, keampuhan vaksin COVID-19 dengan merk Sinopham diragukan efektvitasnya dalam upaya menekan laju perebakan virus corona. Reuters melaporkan, Seychelles, sebuah negara kepulauan dengan 115 pulau di Samudera Hindia, mengalami lonjakan kasus COVID-19 meski sebagian besar populasinya telah divaksinasi dengan vaksin Sinopharm buatan China atau vaksin Oxford/AstraZeneca dari Inggris.
Menurut penelitian dan situs web Our World in Data, lebih dari 71 persen populasi negara itu telah mendapatkan setidaknya satu dosis vaksinasi per 19 Mei, dan lebih dari 60 persen warganya telah divaksinasi secara penuh sejak program vaksinasi diluncurkan pada Januari.
The New York Times melaporkan bahwa di antara populasi penduduk yang sudah menerima dosis penuh, sebanyak 57 persen menerima vaksin Sinopharm, dan 43 persen menerima AstraZeneca. Kementerian Kesehatan Seychelles mengatakan pada 10 Mei bahwa lebih dari 37 persen orang yang dites positif COVID-19 telah mendapatkan vaksinasi dosis lengkap. Kementerian tidak memperinci berapa banyak di antara mereka yang baru mendapat satu dosis vaksinasi dan berapa yang sudah menerima dosis lengkap.
Liu Chenglong, seorang ahli epidemiologi dan asisten profesor penelitian di Pusat Medis Universitas Georgetown di Washington, D.C. mengatakan bahwa orang yang terinfeksi setelah divaksinasi disebut sebagai kasus terobosan.
“Menurut CDC (Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit AS-red), sebagian kecil orang yang divaksinasi dosis lengkap masih akan tertular COVID-19, jika mereka terpapar virus penyebabnya. Ini disebut 'kasus terobosan vaksin.' Ini berarti bahwa meskipun orang yang telah divaksinasi jauh lebih kecil kemungkinannya untuk jatuh sakit, hal itu masih mungkin terjadi,” katanya kepada VOA Mandarin melalui email.
Meski begitu, Liu mengatakan terlalu dini untuk menyimpulkan bahwa vaksin Sinopharm atau AstraZeneca harus disalahkan atas terjadinya gelombang COVID-19 kedua di Seychelles.
“Tidak ada informasi yang diberikan tentang berapa persen dari kasus ini di Seychelles yang menggunakan vaksin Sinopharm atau AstraZeneca,” kata Liu. “Selain itu, 80 persen pasien yang perlu dirawat di rumah sakit, tidak divaksinasi, yang masih menunjukkan efektivitas program vaksin di negara ini,” pungkasnya. [gi/ah]