Presiden Perancis Emmanuel Macron mengadakan pertemuan keamanan nasional yang mendesak, Kamis (22/7), untuk membahas spyware Pegasus buatan Israel setelah laporan tentang penggunaannya di Perancis muncul pekan ini.
"Presiden memantau isu ini dengan cermat dan menganggapnya sangat serius," kata juru bicara pemerintah Gabriel Attal kepada radio France Inter. Ia menambahkan bahwa pertemuan keamanan nasional yang tidak dijadwalkan itu didedikasikan untuk masalah Pegasus dan pertanyaan tentang keamanan siber.
Sebuah konsorsium perusahaan media, termasuk Washington Post, Guardian dan harian Perancis Le Monde, melaporkan, Selasa (20/7), bahwa salah satu nomor ponsel Macron dan banyak menteri kabinet ada dalam daftar bocoran target potensial Pegasus.
Koran-koran itu mengatakan mereka tidak dapat memastikan apakah peretasan telah terjadi tanpa menganalisis ponsel presiden secara forensik.
Bukti percobaan peretasan ditemukan pada perangkat ponsel mantan menteri lingkungan dan sekutu dekat Macron, Francois de Rugy. Percobaan peretasan itu diduga berasal dari Maroko.
De Rugy, Selasa (20/7), menuntut agar Maroko memberikan "penjelasan kepada Perancis, kepada pemerintah Perancis dan individu seperti saya, yang merupakan anggota pemerintah Perancis ketika ada upaya untuk meretas dan mengakses data di ponsel saya."
NSO Group, perusahaan yang membuat Pegasus, telah membantah bahwa Macron termasuk di antara target kliennya.
“Kami dapat memastikan bahwa presiden Perancis, Macron, bukanlah target,” kata Chaim Gelfand, kepala urusan kepatuhan hukum NSO Group, kepada jaringan televisi Israel i24, Rabu.
Sebuah sumber yang dekat dengan Macron menyepelekan kemungkinan telepon Macron bisa diretas. Ia mengatakan, Rabu (21/7), bahwa pemimpin berusia 43 tahun itu memiliki beberapa ponsel yang "secara teratur diubah, diperbarui, dan diamankan".
Berbicara kepada AFP dengan syarat namanya dirahasiakan, sumber itu mengatakan bahwa pengaturan keamanan alat komunikasi presiden itu luar biasa ketat.
Banyak media pemberitaan mengungkapkan pekan ini bahwa Maroko, yang merupakan sekutu dekat Perancis, juga menarget beberapa jurnalis terkenal di Perancis.
Kantor kejaksaan di Paris telah membuka penyelidikan menyusul munculnya keluhan-keluhan yang diajukan situs investigasi Mediapart dan surat kabar satire Le Canard Enchaine.
Maroko telah membantah klaim tersebut, dengan mengatakan tidak pernah memperoleh perangkat lunak komputer itu untuk meretas perangkat komunikasi.
Investigasi bersama sejumlah media terhadap Pegasus mengidentifikasi setidaknya ada 180 jurnalis di 20 negara yang telah menjadi target potensial antara 2016 hingga Juni 2021.
Pegasus dapat meretas ponsel tanpa sepengetahuan pengguna, memungkinkan klien piranti itu membaca setiap pesan, melacak lokasi pengguna, serta memanfaatkan kamera dan mikrofon ponsel. [ab/uh]