Anggota Dewan Pengawas KPK Harjono dalam rapat yang digelar secara virtual pada Jumat (23/7), menjelaskan tidak benar Ketua KPK Firli Bahuri telah menambahkan pasal mengenai tes wawasan kebangsaan dalam rapat pimpinan KPK pada 25 Januari 2021.
Rapat pimpinan KPK itu membahas rancangan Peraturan KPK Nomor 1 Tahun 2001 tentang Alih Status Pegawai KPK Menjadi Aparatur Sipil Negara. Rapat ini digelar sebelum draf peraturan KPK tersebut dibawa ke Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia untuk dibahas dalam rapat harmonisasi.
Menurut Harjono, Dewan Pengawas menemukan fakta penyusunan Peraturan KPK Nomor 1 Tahun 2001 itu dilakukan melalui pembahasan bersama oleh semua pimpinan KPK dan pejabat struktural, yang rumusannya disusun oleh Biro Hukum bersama Biro Sumber Daya Manusia.
"Ketentuan mengenai tes wawasan kebangsaan merupakan masukan dari BKN (Badan Kepegawaian Negara) yang pertama kali disampaikan dalam rapat tanggal 9 Oktober 2020 serta dalam rapat harmonisasi Kemenpan RB (Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi) dan BKN yang meminta tetap ada asesmen wawasan kebangsaan untuk mengukur syarat pengalihan pegawai KPK menjadi ASN (aparatur sipil negara) mengenai setia kepada Pancasila, Undang-undang Dasar 1945, NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia), dan pemerintahan yang sah," kata Harjono.
Kementerian PAN/BKN Nilai Tes Wawasan Kebangsaan Penting
Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan BKN berpendapat tes wawasan kebangsaan itu diperlukan untuk memastikan kesetiaan para pegawai KPK bukan sekadar menandatangani surat pernyataan saja.
Harjono menambahkan atas usulan BKN itulah, ketentuan tentang tes wawasan kebangsaan telah tercantum dalam pasal 5 ayat 4 draf Peraturan KPK Nomor 1 Tahun 2001 pada 21 Januari 2021 yang dikirim oleh Sekretariat Jenderal dan kemudian disetujui oleh pimpinan KPK secara kolektif kolegial.
Selain itu, lanjut Harjono, Dewan Pengawas memutuskan tidak benar pimpinan KPK membiarkan pelaksanaan asesmen dan tidak menindaklanjuti pengaduan pegawai karena materi Asesmen Wawasan Kebangsaan disediakan oleh Badan kepegawaian Negara (BKN), bukan oleh pimpinan KPK.
Putusan ini menanggapi pengaduan dari pegawai KPK tentang pembuatan pimpinan KPK yang dituduh membiarkan pelaksanaan asesmen yang diduga melanggara hak beragama atau berkeyakinan, kebebasan berekspresi, dan hak bebas dari diskriminasi dan kekerasan berbasis gender termasuk pelecehan seksual serta tidak menindaklanjuti pengaduan pegawai atas pelanggaran tersebut.
"Dewas (Dewan Pengawas KPK) menemukan sejumlah fakta. Seluruh materi Asesmen Wawasan Kebangsaan dalam pengalihan status pegawai KPK menjadi pegawai ASN (aparatur sipil negara) disediakan oleh BKN (Badan Kepegawaian Negara) dan pimpinan KPK tidak ikut dalam menyusun materi pertanyaan TWK (tes wawasan kebangsaan) tersebut," kata Harjono.
Tak Satu Pun Pegawai KPK Keberatan dengan Uji Wawasan Kebangsaan
Dewan Pengawas juga menemukan fakta setelah pelaksaan tes yang diikuti semua pegawai KPK selesai, tidak ada satu pun pegawai menyatakan keberatan terhadap materi tes, baik disampaikan secara langsung atau tidak langsung kepada pimpinan KPK.
Menurut Harjono, pimpinan KPK baru mengetahui dari media dan surat rekomendasi dari Komnas Perempuan atas laporan yang disampaikan pegawai KPK soal pertanyaan tes yang dianggap melanggar kebebasan berkeyakinan dan kebebasan berpendapat tersebut.
Terkait aduan pegawai bahwa pimpinan KPK sejak awal ingin menyingkirkan 75 pegawai KPK tidak lolos tes wawasan kebangsaan, Anggota Dewan Pengawas KPK Albertina Ho mengatakan sidang Dewan Pengawas memutuskan tidak benar pimpinan KPK sejak awal mempunyai niat untuk memberhentikan pegawai KPk tidak lulus tes wawasan kebangsaan.
Bahkan sampai sekarang, lanjut Albertina, pegawai KPK tidak lolos tes wawasan kebangsaan masih bekerja dan memperoleh hak-haknya sebagai pegawai.
Pimpinan KPK Berupaya Perjuangan Nasib Semua Pegawai
Terkait aduan tersebut, Albertina menjelaskan Dewan Pengawas menemukan fakta bahwa dalam rapat pimpinan KPK pada 5 Mei 2021 tidak ada pembahasan dan keputusan untuk memberhentikan 75 pegawai yang tidak lulus tes wawasan kebangsaan.
Bahkan Dewan Pengawas menemukan fakta pimpinan KPK berusaha memperjuangkan supaya semua pegawai KPK bisa diangkat menjadi aparatur sipil negara.
Akhirnya berdasarkan hasil rapat koordinasi dengan kementerian dan lembaga terkait, 24 dari 75 pegawai tidak lulus tes wawasan kebangsaan dapat diangkat sebagai pegawai negeri setelah mengikuti dan lulus pelatihan bela negara dilaksanakan oleh Kementerian Pertahanan.
ICW: Tak Kaget dengan Pernyataan Dewan Pengawas KPK
Menanggapi keputusan sidang Dewan Pengawas KPK tersebut, peneliti di Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana mengatakan ICW tidak kaget lagi melihat sikap Dewan Pengawas itu.
Kurnia menambahkan Dewan Pengawas sudah berubah menjadi seperti pembela dan pelindung pimpinan KPK.
"Memang kami lihat belakangan waktu terakhir, terutama dugaan pelanggaran kode etik yang menyasar pimpinan KPK, Dewan pengawas justeru bertransformasi bukan lagi sebagai Dewan Pengawas, namun lebih terlihat sebagai kuasa hukum dari pimpinan KPK, mengabaikan begitu banyak pelanggaran selama ini," tutur Kurnia.
Berkaitan dengan pelaksanaan tes wawasan kebangsaan, Kurnia mengaku aneh karena lembaga di luar KPK saja, seperti Ombudsman dalam keputusannya Rabu lalu (21/7) bisa menyimpulkan terdapat pelanggaran administrasi dan kode etik.
ICW menegaskan keputusan Dewan Pengawas yang membela pimpinan KPK telah membuat pamor Dewan Pengawas kian merosot. Padahal Dewan Pengawas berisi para profesional yang dulunya digandrungi publik karena memiliki rekam jejak bagus mengenai pemberantasan korupsi.
Menurut Kurnia, Dewan Pengawas tumpul dalam melakukan penegakan kode etik terhadap pimpinan KPK.
ICW menekankan pelaksanaan tes wawasan kebangsaan tidak tepat dilakukan terhadap pegawai KPK karena hal itu tidak diatur dalam undang-undang KPK yang baru maupun peraturan turunannya. Kalau sesuatu disisipkan tanpa ada dasar hukumnya, maka itu merupakan perbuatan melanggar hukum. [fw/em]