Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Jumat (18/6) meminta keterangan dari sejumlah mantan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berkaitan tentang pelaksanaan hasil tes wawasan kebangsaan terhadap pegawai lembaga antirasuah tersebut.
Mereka yang dipanggil, termasuk M. Jasin, Bambang Widjajanto, Abraham Samad, dan Saut Situmorang.
Selain itu, Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron juga datang memenuhi panggilan dari Komnas HAM.
Kepada wartawan seusai permintaan keterangan itu, Komisioner Bidang Pemantauan/Penyelidikan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Choirul Anam menjelaskan terdapat perbedaan keterangan yang disampaikan oleh Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Nurul Ghufron dengan pihak Badan Kepegawaian Negara (BKN) terkait tes wawasan kebangsaan.
Anam menambahkan kepada Ghufron, Komnas HAM menggali seputar alasan penggunaan tes wawasan kebangsaan sebagai syarat alih status pegawai KPK menjadi aparatur sipil negara.
"Pak Ghufron sendiri juga nggak bisa jawab karena memang KPK tidak tahu. Itu katanya. Itu lininya BKN (Badan kepegawaian Negara). BKN sendiri beberapa hari yang lalu sudah kami periksa dan kami mendapatkan sesuatu yang agak berbeda antara persoalan yang diceritakan kepada kami yang oleh KPK maupun oleh BKN," ujar Anam.
Karena itu, kata Anam, Komnas HAM akan mendalami soal perbedaan keterangan yang diberikan oleh KPK dan BKN mengenai polemik tes wawasan kebangsaan.
Sebenarnya ada lima pimpinan KPK yang dipanggil, tetapi hanya Nurul Ghufron yang datang, yang katanya mewakili pimpinan lain karena sifat kepemimpinan yang kolektif kolegial.
Namun Anam mengungkapkan sebenarnya ada beberapa pertanyaan Komnas HAM yang sifatnya bukan untuk kolektif kolegial, tapi yang sifatnya kontribusi pimpinan secara individu seputar tes wawasan kebangsaan. Sebab itu, Komnas HAM memberikan kesempatan kepada pimpinan KPK lainnya untuk memberikan klarifikasi.
Menurut Anam, Nurul Ghufron tidak bisa menjawab ketika ditanya oleh Komnas HAM siapa yang mengajukan gagasan untuk mengadakan tes wawasan kebangsaan sebagai syarat menjadi pegawai negeri.
Anam menegaskan Komnas HAM akan memanggil semua pihak yang terlibat dalam pengambilan kebijakan dan pelaksanaan tes wawasan kebangsaan, termasuk Badan Intelijen Negara (BIN).
Hasil penyelidikan oleh Komnas HAM soal tes wawasan kebangsaan ini akan rampung paling lambat akhir bulan ini atau awal bulan depan.
Di tempat yang sama, Mantan Wakil Ketua KPK, M. Jasin menjelaskan pegawai KPK tidak bisa dilengserkan hanya dengan dasar hasil tes wawasan kebangsaan.
Menurutnya pegawai lembaga antirasuah ini dapat dipecat setelah melalui pemeriksaan dan audit terhadap pelanggaran yang dilakukan, karena dinilai melanggar kode etik, pelanggaran hukum, atau kinerjanya tidak memuaskan.
"Jadi pemecatan (pegawai KPK) itu ada alasan dan harus ada auditnya. Di KPK ada pengawas internal. Apabila melanggar kode etik, apa buktinya peelanggaran itu. Apabila tidak bisa mencapai kinerjanya, apa bukti dia tidak bisa mencapai kinerjanya. Apabila dia melanggar hukum, maka ada hal-hal yang digali dari pelanggaran hukum yang dilakukan oleh pegawai KPK," ujar Jasin.
Putusan Mahkamah Konstitusi, tambahnya, juga telah menyatakan alih status menjadi pegawai negeri tidak boleh merugikan pegawai KPK. Bahkan Presiden Joko Widodo sendiri sudah menegaskan tes wawasan kebangsaan tidak boleh berakhir dengan pemecatan pegawai KPK karena masih ada ruang untuk pembinaan.
Karena itu, Jasin mensinyalir keputusan pimpinan KPK untuk memecat para pegawai yang tidak lulus tes wawasan kebangsaan sebagai tindakan yang menyalahgunakan kewenangan.
ICW: KPK Berbohong
Peneliti di Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana menjelaskan lembaganya menuding KPK telah berbohong karena permintaan sejumlah pegawai KPK yang sudah dinonaktifkan terhadap hasil tes wawasan kebangsaan ditolak. Juru bicara KPK Ali Fikri, menurutnya, menyatakan KPK harus berkoordinasi lagi dengan BKN.
"Padahal tanggal 27 April, megah sekali proses ketika BKN menyerahkan hasil penilaian pegawai KPk kepada KPK. Harusnya itu tidak menjadikan KPK tertutup. Harusnya KPK berikan saja kalau memang mereka mengklaim proses tes wawasan kebangsaan itu benar, bagaimana metode penilaiannya," tutur Kurnia.
Tes wawasan kebangsaan terhadap pegawai KPK menjadi polemik di publik karena proses itu menentukan lolos atau tidak lolosnya pegawai menjadi aparatur sipil negara. Sebanyak 1.271 pegawai KPK yang dinilai lolos tes wawasan kebangsaan sudah resmi dilantik menjadi pegawai negeri pada 1 Juni 2021.
Dari 75 pegawai KPK yang dinyatakan tidak lulus, sebanyak 24 orang masih diberikan kesempatan menjadi aparatur sipil negara dengan lebih dulu mengikuti pembinaan. Sedangkan 51 pegawai KPK lainnya dinilai sudah tidak bisa lagi bergabung dengan KPK karena disebut mendapat nilai merah. [fw/em]