Rencana kenaikan cukai rokok yang disampaikan Presiden Joko Widodo meresahkan pelaku industri ini. Komunitas tembakau di Yogyakarta menilai, kebijakan itu seolah hanya memandang rokok sebagai komoditas, tanpa melihat rantai produksi di bawahnya.
Mereka yang sepakat menolak wacana kenaikan cukai rokok adalah Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) Yogyakarta, dan Federasi Serikat Pekerja Rokok, Tembakau, Makanan dan Minuman (FSP RTMM) Yogyakarta. Bergabung pula Lembaga Konsumen Rokok Indonesia, Pedagang Asongan Rokok Yogyakarta serta Perwakilan Industri Rokok Kecil Yogyakarta. Komunitas ini menyampaikan aspirasi bersama di Yogyakarta, Senin (30/8).
Triyanto, Sekretaris Jendral APTI DIY mengingatkan pemerintah, bahwa pelaku industri ini saling terkait. Jika satu terbebani oleh kebijakan, dampaknya akan merembet ke semua pihak yang terlibat.
“Kalau beban itu terlalu kuat dipaksakan, kalau rantainya putus, bagaimana? Kan tidak berfungsi. Nanti dampaknya yang paling besar adalah pemutusan hubungan kerja bagi buruh rokok. Mau dikemanakan tenaga kerja ini. Mau makan apa anak dan isrinya? Siapa yang mau tanggung jawab?,” kata Triyanto setengah menggugat.
Karena itulah, komunitas ini telah sepakat menandatangani surat pernyataan sikap. Tujuan utamanya adalah menolak rencana Presiden Jokowi menaikkan cukai rokok. Bahkan, mereka berharap Jokowi bersedia mendengarkan langsung pandangan komunitas industri tembakau terkait persoalan tersebut.
Petani, kata Triyatno akan melakukan upaya maksimal mencegah realisasi kenaikan cukai rokok. Pemerintah diharapkan tidak sekedar melihat rokok sebagai komoditas saja, sehingga berharap cukai tinggi dari produk itu, tanpa memperhatikan sektor pendukungnya.
“Jangan-jangan rokok ini nanti sebagai komoditas saja. Enggak dirasakan bagaimana prosesnya, hanya enaknya saja. Pajaknya dinaikkan, tetapi tidak tahu prosesnya di bawah seperti apa,” lanjut Triyanto.
Rencana pemerintah menaikkan cukai rokok secara resmi termuat dalam Nota Keuangan yang disampaikan Presiden Jokowi kepada DPR, 16 Agustus 2021 lalu. Tahun 2022, pemerintah menargetkan perolehan cukai hasil tembakau sebesar lebih dari Rp 203 triliun. Jumlah itu meningkat hampir 12 persen dari patokan tahun ini yang ditetapkan pada angka Rp 182 triliun. Karena rokok merupakan produk hasil tembakau terbesar, angka pemasukan mayoritas diperoleh dari perubahan cukai atas produk ini.
Pada Februari 2021 lalu, harga rokok mengalami kenaikan rata-rata 12,5 persen setelah pemerintah menaikkan cukai hasil tembakau pada November 2020 lalu. Jika tahun ini cukai dinaikkan kembali, harga rokok diperkirakan akan naik pada periode sama tahun depan.
Di Yogyakarta sendiri setidaknya ada 15 ribu petani tembakau dan 5 ribu buruh pabrik rokok. Sektor ini butuh perhatian, karena dinilai padat karya. Rokok yang diproduksi di Yogyakarta rata-rata merupakan Sigaret Kretek Tangan (SKT), bukan produksi mesin, sehingga menyerap tenaga kerja besar.
Ekosistem Jangan Terganggu
Ketua FSP RTMM Yogyakarta, Waljid Budi Lestarianto mengatakan, industri hasil tembakau adalah satu kesatuan ekosistem. Karena itulah, seluruh pihak di dalamnya satu suara terkait isu ini. Tidak hanya petani dan industri, bahkan penikmat rokok juga masuk di dalamnya.
“Apabila ada satu kebijakan atau aturan yang tidak berpihak kepada ekosistem pertembakauan di Indonesia, pasti akan berdampak juga pada sektor-sektor yang bergantung di sektor pertembakauan ini,” ujar Waljid.
Pengiriman surat penolakan kenaikan cukai rokok ini menjadi satu bagian upaya mereka mempertahankan sumber kehidupan. Ekosistem pertembakauan diibaratkan oleh Waljid menjadi sawah ladang bagi mereka yang terlibat di dalamnya.
“Kalau sawah ladang kami terganggu karena kenaikan cukai rokok tahun 2022, mau tidak mau sampai kemungkinan terakhir akan kami lawan dan pertahankan sawah ladang ini supaya kami tetap bisa hidup,” tambah Waljid.
Dia juga mengatakan, petani, buruh pabrik rokok, penjual rokok, dan seluruh pihak terkait sedang melakukan koordinasi tingkat nasional untuk mengambil sikap.
Mewakili Lembaga Konsumen Rokok Indonesia (LKRI) Agus Sunandar menyuarakan kepentingan perokok terkait kenaikan cukai. Otomatis, ujar Agus, harga rokok akan ikut naik ketika cukainya makin tinggi.
“Saya sebagai konsumen, tidak ada untungnya ketika cukai itu dinaikkan. Menjadi kontraproduktif ketika cukai rokok dinaikkan, karena kalau tidak merokok, kreatifitas buntu,” ujar Agus.
Kalaupun sangat terpaksa dinaikkan, jenis Sigaret Kretek Tangan (SKT) menurut Agus jangan sampai ikut dinaikkan. Jenis rokok ini proses produksinya mampu menyedot tenaga kerja besar, sehingga kenaikannya akan berdampak langsung pada sektor perburuhan. Selain itu, penikmat rokok khawatir kenaikan cukai akan diantisipasi pabrik dengan penurunan kualitas produk.
“Jika cukai rokok itu naik, pabrik akan mengurangi kualitasnya. Sebagai konsumen penikmat rokok kami akan tetap menikmati, tetapi itu tadi, kalau bisa jangan sampai naik, kalaupun naik untuk rokok putih saja,” tandas Agus.
Berbagai Isu Terkait Cukai Rokok
Salah satu pihak yang secara konsisten meminta harga rokok tinggi, melalui penerapan cukai, adalah kelompok pro pengendalian tembakau. Kajian yang dilakukan aktivis di kelompok ini menyebut, konsumsi rokok di masa pandemi tidak turun, meski risiko kesehatan secara umum telah diketahui. Begitu pula dampak COVID-19 yang lebih buruk bagi perokok telah diyakini.
Alasan lain adalah prevalensi perokok. Tren menunjukkan, perokok muda tetap mudah mengakses rokok, meski aturan dengan tegas melarangnya. Kenaikan harga rokok diharapkan memberi ruang yang tidak bisa dicapai oleh remaja untuk membelinya.
Pemerintah sendiri mempertimbangkan sejumlah faktor dalam menaikkan cukai rokok. Prevalensi perokok muda menjadi salah satunya. Tahun 2021 ini, prevalensi perokok berusia 10-18 tahun diharapkan turun dari 9,1 persen menjadi 8,7 persen. Fakto kedua yang diperhitungkan pemerintah adalah tenaga kerja. Ada lebih 158 ribu buruk pabrik rokok dan 2,6 juta petani tembakau yang akan langsung terdampak. Karena itu, cukai rokok akan ditetapkan tidak terlalu tinggi sehingga dampaknya tidak signifikan bagi kelompok ini.
Namun, faktor penerimaan negara juga menjadi pertimbangan. Apalagi pemerintah telah menetapkan kenaikan target, yang harus dicapai melalui naiknya cukai. Faktor lain yang menjadi pertimbangan adalah upaya pemberantasan rokok ilegal. Dengan cukai tinggi, rokok ilegal akan naik. Tetapi di sisi lain, pemasukan yang besar juga memberi anggaran cukup bagi upaya pemberantasan cukai rokok ilegal itu sendiri. [ns/ab]