Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengatakan pemerintah sedang melakukan pembicaraan dengan Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO) serta enam perusahaan farmasi terkait keinginannya untuk menjadikan Indonesia sebagai pusat pembuatan vaksin dunia.
Budi mengatakan dalam sebuah wawancara dengan Reuters, Indonesia akan memulai inisiatif tersebut dengan memprioritaskan pembelian vaksin COVID-19 dari perusahaan yang mau membagikan teknologi yang digunakannya dalam pembuatan vaksin dan mendirikan fasilitas di Tanah Air.
"Kami bekerja sama dengan WHO untuk menjadi salah satu pusat manufaktur global untuk mRNA," katanya. Ia menambahkan bahwa dia telah melobi langsung Direktur Jenderal WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus dalam perjalanan awal bulan ini ke Eropa.
"WHO telah menunjuk Afrika Selatan sebagai lokasi pertama, dan saya mengatakan bahwa secara logis Indonesia harus menjadi yang kedua."
"Pusat transfer teknologi" yang baru adalah bagian dari strategi WHO untuk mendistribusikan produksi vaksin secara lebih luas secara global. Selain itu, hal ini juga merupakan bagian dari strategi badan PBB tersebut untuk meningkatkan kapasitas negara-negara berkembang agar dapat membuat vaksin generasi baru, seperti vaksin Moderna dan Pfizer yang berbasis asam nukleat mRNA, yang dianggap dapat dengan cepat beradaptasi dalam menangani varian virus baru.
Seorang pejabat senior WHO kepada Reuters mengatakan upaya untuk mengembangkan basis produksi vaksin COVID-19 di Afrika Selatan akan fokus pada upaya untuk meniru vaksin Moderna. Namun realisasi proyek tersebut masih terhambat karena proses negosiasi yang terjadi dengan perusahaan di AS masih mengalami kebuntuan.
Budi mengatakan Indonesia tertarik untuk membangun keahlian dalam menciptakan vaksin mRNA, serta juga mengembangkan jenis viral vector shot seperti yang diproduksi AstraZeneca.
Seorang juru bicara WHO mengatakan Indonesia adalah salah satu dari 25 negara berpenghasilan rendah dan menengah yang menyatakan minatnya untuk menjadi tuan rumah pusat vaksin. Namun ia menolak untuk mengatakan apakah Indonesia menjadi kandidat utama terkait hal tersebut.
Budi mengatakan Indonesia berada di posisi yang tepat untuk mengekspor vaksin ke seluruh dunia, terutama karena Indonesia adalah negara berpenduduk mayoritas Muslim terbesar di dunia dan dapat menjamin vaksinnya halal.
Indonesia telah bergulat dengan salah satu wabah COVID-19 terparah di Asia dan telah mencatat lebih dari 4,1 juta infeksi dan 139.000 kematian. Para ahli kesehatan masyarakat mengatakan angka sebenarnya kemungkinan beberapa kali lebih tinggi.
Tingkat infeksi dan kematian di Tanah Air telah menurun tajam dalam beberapa minggu terakhir. Namun, jumlah penerima vaksin dosis penuh saat ini baru mencapai 25 persen dari target populasi 208 juta orang. Akibatnya pemerintah masih harus melakukan upaya untuk menggalakkan program vaksinasi di masa mendatang, terutama karena kemungkinan harus memberikan suntikan booster.
Budi mengatakan perusahaan farmasi nasional sedang berdiskusi dengan produsen dan pengembang vaksin Anhui, Walvax, Sinovac, Genexine, Arcturus Therapeutics dan Novavax. Pembicaraan, menurutnya, berkisar dari "isi dan penyelesaian" dasar hingga produksi hulu dan penelitian dan pengembangan.
“Kami membuka peluang yang sama juga kepada AstraZeneca. Kami juga terbuka untuk rekanan yang sudah ada, Pfizer,” ujarnya. "Kami terbuka untuk siapa saja."
Bambang Heriyanto, Sekretaris Perusahaan BUMN Farmasi Bio Farma, membenarkan pembicaraan tersebut sedang berlangsung. Menurutnya, langkah pertama adalah berkolaborasi dalam transfer teknologi. Ia menjelaskan dibutuhkan dua atau tiga tahun untuk membangun fasilitas produksi yang beroperasi penuh.
Budi mengatakan Indonesia akan menggunakan pengaruhnya sebagai bagian dari negara-negara kelompok G-20 mulai Desember nanti untuk mempromosikan keamanan kesehatan global dan mempersiapkan pandemi berikutnya setelah virus corona, juga dikenal sebagai SARS-CoV-2.
"Tidak ada yang bisa menjamin bahwa SARS-CoV-3 dan 4 tidak akan datang,” tukasnya. [ah/au/rs]