Bebasnya Ambika MA Shan, warga negara Malaysia yang diduga menganiaya hingga meninggal pekerja migran asal Indonesia, Adelina Sau, mengundang kontroversi. Pemerintah didesak memanggil duta besar Malaysia untuk dimintai penjelasan.
Desakan itu antara lain datang dari Koalisi Masyarakat Sipil untuk Keadilan bagi Adelina. Hari Senin, mereka menggelar aksi keprihatinan di depan Kedutaan Besar Malaysia di Jakarta. Gabriel Goa, salah satu aktivis yang tergabung dalam koalisi ini menyebut mereka menangis dan miris atas putusan bebas yang diberikan pengadilan Malaysia kepada Ambika.
“Kami mengutuk keras dan mendesak Presiden Republik Indonesia untuk mengambil langkah yang keras terhadap Malaysia, dengan memerintahkan menteri luar negeri segera panggil duta besar Malaysia untuk Indonesia untuk memberikan pertanggungjawaban terkait hasil putusan yang membebaskan pelaku kejahatan kemanusiaan terhadap Adelina Sau,” kata Gabriel yang juga Direktur Padma Indonesia.
Mahkamah Persekutuan Malaysia pada Kamis (23/6) telah mengesahkan pembebasan majikan Adelina Sau, Ambika MA Shan. Adelina diketahui mengalami penyiksaan keji oleh majikannya itu, sebelum akhirnya diselamatkan pihak berwenang pada 10 Februari 2018.
Dalam putusannya, majelis hakim yang beranggotakan Vernon Ong Lam Kiat, Harmindar Singh Dhaliwal, dan Rhodzariah Bujang menolak permohonan jaksa penuntut umum untuk menggugurkan putusan Mahkamah Tinggi. Hakim Vernon, sebagai ketua majelis hakim menegaskan Pengadilan Tinggi telah mengeluarkan putusan dengan benar. Di pengadilan sebelumnya, pengadilan tinggi memang telah membebaskan Ambika MA Shah dari tuntutan hukum. Keputusan Mahkamah Persekutuan Malaysia ini membuat Ambika bebas murni dan tidak bisa didakwa pidana atas kematian Adelina.
“Kami mendesak dan mendukung gerakan masyarakat untuk melawan ketidakadilan hukum terhadap para korban asal Indonesia, terutama pekerja migran Indonesia, untuk itu kami meminta kepada segenap masyarakat Indonesia, khususnya Nusa Tenggara Timur untuk melakukan protes keras atas putusan yang sungguh melecehkan harkat dan martabat pekerja migran Indonesia dan keluarga korban Adelina Sau,” tambah Gabriel.
Presiden dan Gubernur NTT juga diminta untuk mengambil langkah keras, dan tidak sekedar berdiplomasi lisan. Harus ada tindakan nyata, misalnya dengan moratorium pengiriman pekerja ke Malaysia.
Desakan Koalisi Masyarakat Sipil
Dalam pernyataan resminya, Koalisi Masyarakat Sipil untuk Keadilan bagi Adelina mengutuk dan menyesalkan dengan sungguh-sungguh dijatuhkannya putusan bebas murni kepada Ambika, yang jelas terbukti melakukan penyiksaan hingga Adelina kehilangan nyawa. Koalisi menilai putusan tersebut melukai rasa keadilan bagi Adelina dan keluarganya, PRT migran Indonesia dan bangsa Indonesia.
Mereka yang tergabung dalam koalisi ini antara lain Migrant CARE, Jaringan antitrafficking NTT, Padma Indonesia dan VIVAT Indonesia.
Selain itu, Koalisi juga menyebut Malaysia berlaku tidak adil dan tidak konsisten terhadap nilai-nilai hak asasi manusia dalam menegakkan kasus penyiksaan keji terhadap Adelina. Malaysia bahkan tidak menghormati MoU yang baru saja disepakati antara Indonesia dan Malaysia tentang penempatan dan perlindungan pekerja rumah tangga Indonesia di Malaysia
Kepada pemerintah Indonesia, koalisi mendesak adanya nota protes diplomatik kepada Malaysia atas putusan Mahkamah Persekutuan. Mereka juga meminta pemerintah Indonesia menunda implementasi MoU Indonesia dan Malaysia tentang penempatan dan perlindungan pekerja rumah tangga Indonesia di Malaysia.
Para aktivis juga mendesak pemerintah Indonesia mengambil langkah-langkah strategis dan melakukan evaluasi atas kerjasama ketenagakerjaan dengan Malaysia. Di dalam negeri, pengesahan RUU PPRT sebagai instrumen perlindungan bagi PRT baik di dalam maupun di luar negeri, menjadi semakin penting.
Menjadi Pelajaran untuk Semua
Adelina memang telah pergi, tetapi kisahnya diharapkan menjadi inspirasi, terutama bagi remaja di NTT agar tidak mudah menjadi korban mafia perdagangan orang. Ambrosius Ku, sepupu Adelina yang dihubungi VOA mengatakan, seluruh keluarga sedih mendengar kabar bebasnya Ambika. Namun, mereka juga dipenuhi doa dan harapan.
“Jangan ada lagi Adelina berikutnya, dengan hal yang sama. Berangkat dari sini, dari kampung di NTT kesana karena kekurangan. Kita pergi kesana mau memenuhi kita punya kekurangan di sini. Ternyata kita pergi duduk di tempat duduk pesawat, kita pulang berada di dek, di dalam peti jenazah. Sangat menyakitkan,” papar Ambrosius.
Ambrosius mengaku, seluruh keluarga heran dengan apa yang terjadi. Mereka mempertanyakan, apakah memang hukum di Malaysia akan membebaskan pelaku penganiayaan, bahkan hingga korban meninggal. Padahal di sisi lain, anggota mafia perdagangan manusia di NTT, yang menjual Adelina ke Malaysia, telah dihukum penjara.
“Itu anak-anak buah mereka yang merekrut sudah ada di penjara, bahkan sudah ada yang bebas, sudah keluar. Lalu dia yang melakukan penganiayaan, sampai menghilangkan nyawa seseorang dan dia divonis bebas, menurut saya tidak pantas,” kata Ambrosius lagi.
Namun, keluarga Adelina mengaku tidak bisa berbuat banyak. Harapan tinggal tertuju pada pemerintah, agar mengambil jalan yang dimungkinkan untuk terus membawa majikan Adelina ke pengadilan.
“Kalau divonis bebas, kami mau bilang apa. Kalau memang perlu lapor, kami akan lapor supaya bisa banding,” tegas Ambrosius.
Penerimaan keluarga bahkan diwujudkan dengan doa yang mereka kirimkan, kepada Ambika sebagai pelaku penganiayaan.
“Semoga Tuhan melindungi dia, yang melakukan penganiayaan dan mencabut nyawa adik kami. Semoga dia baik-baik saja,” kata Ambrosius lirih.
Adelina Sau lahir di Abi, Kabupaten Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur, pada 1998. Pada Juni 2013, atau ketika masih 15 tahun, Adelina berangkat ke Malaysia dengan visa pelancong melalui sponsor perorangan. Untuk memenuhi persyaratan, mafia penjualan manusia memalsukan umurnya menjadi 21 tahun di Indonesia, dan disebut berasal dari Medan, Sumatra Utara.
Setahun bekerja di Malaysia pada majikan pertama, Adelina sempat pulang. Tiga bulan kemudian, dia kembali ke Malaysia menggunakan visa turis dan bekerja untuk Jayavartiny Rajamanickam, anak dari Ambika, di Penang.
Empat tahun bekerja ilegal tanpa izin, Adelina ternyata menjadi korban penganiayaan dan ditemukan dalam kondisi memprihatinkan pada 10 Februari 2018. Adelina mengalami kurang gizi, luka-luka parah di tangan dan kaki penuh luka bakar, wajah bengkak, dan ketakutan. Dia juga dipaksa tidur bersama anjing majikannya. Hanya sehari dalam perawatan di rumah sakit, Adelina kemudian meninggal dunia. [ns/ab]
Forum