Pertemuan gabungan menteri keuangan dan menteri kesehatan negara-negara G20 menyepakati pembentukan Dana Pandemi. Indonesia dan Rwanda bekerja sama memimpin pengelolaan dana yang saat ini telah terkumpul $1,4 miliar.
Dalam sesi keterangan kepada media pada Sabtu (12/11) tengah malam, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memastikan bahwa 20 negara dan 3 lembaga filantropi berkomitmen penuh mengumpulkan dana awal. Pada perkembangan terakhir, muncul komitmen dari Australia, Prancis, dan Arab Saudi yang juga akan berkontribusi, sehingga diyakini pencapaian akhir pada tahap pertama ini akan lebih dari $1,4 miliar.
“Kami juga sudah menunjuk ketua, dalam hal ini kerjasama antara Indonesia dan Rwanda, yaitu Pak Chatib Basri serta Menteri Ngamije,” ujar Sri Mulyani.
Chatib Basri adalah Menteri Keuangan Indonesia periode 2013–2014, sedangkan Daniel M. Ngamije, adalah Menteri Kesehatan Rwanda saat ini.
Dengan terbentuknya Dana Pandemi, tim pengelola akan mulai membuka kesempatan pengiriman proposal penggunaan dana tersebut.
“Semua anggota G20 meminta, agar tata kelola dana ini inklusif dan terutama lebih memperhatikan negara berpenghasilan rendah dan negara berkembang, dalam hal membangun kapasitas mereka untuk kesiapsiagaan pandemi,” tambah Sri Mulyani.
Pandemic Fund Jadi Wadah Kesiapsiagaan
Pertemuan gabungan menteri keuangan dan menteri kesehatan, merupakan amanat dari Deklarasi Roma yang dihasilkan dari pertemuan G20 pada 2021 lalu. Kedua kementerian ditugaskan untuk membentuk gugus tugas kesehatan dan keuangan bersama, agar dapat mengatasi masalah pandemi, terutama pada isu kesiapsiagaan.
Seluruh negara, kata Sri Mulyani, yakin bahwa pandemi COVID-19 tidak akan menjadi yang terakhir. Frekuensi dan sifat pandemi, dapat menimbulkan kerugian sangat besar baik dari segi kemanusiaan maupun ekonomi.
“Dan COVID-19 adalah salah satu implikasi yang sangat signifikan, baik dari korban maupun konsekuensi ekonomi,” ujarnya.
Deklarasi Roma telah mengamanatkan menteri keuangan dan menteri kesehatan, mendirikan fasilitas perantara keuangan, agar dunia dapat meningkatkan kemampuan dan mempersiapkan diri lebih baik dalam merespons pandemi berikutnya.
Gugus tugas kesehatan keuangan yang dibentuk untuk melahirkan Dana Pandemi ini, dipimpin oleh Italia, sebagai negara dimana Deklarasi Roma lahir, dan Indonesia yang menjadi Presiden G20 tahun ini, dengan dukungan WHO dan Bank Dunia.
Panel independen tingkat tinggi G20, sebelumnya telah mengidentifikasi bahwa dunia memiliki kesenjangan pendanaan sekitar $10 miliar untuk kesiapsiagaan pandemi. Dengan setidaknya $1,4 miliar yang sudah ada, G20 berfokus pada bagaimana meningkatkan arsitektur kesehatan global.
Pandemi akan Berulang
Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengingatkan, Dana Pandemi tersebut penting karena sifatnya yang terus berulang.
“Jika kita melihat sepanjang sejarah dalam 20 tahun terakhir, pandemi global memiliki dampak finansial yang besar,” kata Menteri Budi.
Dia memberi contoh, pandemi H1N1 pada tahun 2003 menimbulkan biaya ekonomi $50 miliar, demikian pula pandemi serupa di 2009. Lalu ada Ebola pada 2014, yang juga menimbulkan kerugian $50 miliar secara global. Selain itu adalah pula cacar monyet belum lama berselang. Pandemi COVID-19 memberi dampak kerugian berkali-kali lipat sampai saat ini.
“Jadi, ada alasan mengapa G20 yang dimulai tahun 2008 dengan mandat ekonomi penuh, kini mulai berpikir untuk menggabungkan kesehatan dan keuangan,” tambah Budi.
“Krisis kesehatan dapat menimbulkan dampak ekonomi yang signifikan secara global, dan berulang lagi, seperti krisis keuangan. Jadi, krisis kesehatan global, seperti krisis keuangan global, juga memberikan dampak yang luar biasa terhadap ekonomi global,” ujarnya lagi.
Krisis kesehatan di masa lalu memiliki perulangan sekitar setiap 100 tahun, sedangkan krisis keuangan rata-rata terjadi dalam 10 tahun. Namun, krisis kesehatan kini terulang lebih cepat.
Sayangnya, selama ini arsitektur kesehatan global tidak sebaik arsitektur keuangan global. Sektor keuangan memiliki lembaga kuat seperti Bank Dunia dan IMF yang berperan dalam setiap krisis keuangan global. Kedua lembaga itu menangani krisis dengan mandat, proses dan tata kelola yang sangat jelas.
“Kami tidak memilikinya dalam kesehatan. Jadi kita perlu mereplikasi apa yang dimiliki arsitektur keuangan global, dalam hal institusi global, untuk membantu setiap negara di setiap sudut dunia, jika terjadi krisis kesehatan global,” tegas Budi.
Lima Kesepakatan Penting
Dalam kesempatan berbeda sebelumnya, Sekretaris Jenderal Kementerian Kesehatan Kunta Wibawa Dasa Nugraha, menjelaskan mengenai sekurangnya lima kesepakatan G20 dalam kerangka keuangan dan kesehatan. Dana pandemi, kata Kunta, adalah kesepakatan penting dalam G20 kali ini, karena kemampuan setiap negara menghadapi krisis kesehatan berbeda-beda.
“Untuk menutup kesenjangan ini, memang perlu ada kontributor. Dimana kita bisa meratakan distribusi layanan kesehatan di masa darurat. Kalau normal, kita enggak bermasalah, tapi begitu darurat, kita ada kesenjangan di situ,” kata Kunta.
Termasuk dalam kesepakatan ini, adalah upaya memperkuat kapasitas negara-negara berpenghasilan menengah ke bawah, untuk bisa merespon keadaan darurat kesehatan.
Kesepakatan kedua yang telah dibuat adalah evaluasi untuk akses COVID-19 Tool Accelerator yang diharapkan menjadi lebih permanen dan berkelanjutan. Jika dana pandemi bermakna memobilisasi dana, maka kesepakatan kedua ini lebih pada mobilisasi sumber daya kesehatan.
“Jadi ini pentingnya. Bagaimana supaya selain kita sudah punya dananya, sumber daya kesehatan itu bisa dinikmati atau bisa didistribusikan pada semua negara. Intinya, kita ingin semua negara mendapatkan akses terhadap alat kesehatan dan juga tindakan medis dalam kondisi darurat,” bebernya.
Kesepakatan ketiga adalah genomics surveillance, dengan arah pada pencegahan kesiapsiagaan dan respons pandemi. Negara-negara G20 melihat, bahwa kolaborasi interdisipliner dan lintas negara, pencegahan, kesiapsiagaan dan penanggulangan pandemi adalah upaya penting.
Kolaborasi keempat adalah pada sistem sertifikat perjalanan, dengan standar administrasi kesehatan yang lebih mobile, melintas batas secara aman sehingga mempercepat hubungan ekonomi.
“Intinya, kalau nanti ada pandemi lagi, kita tidak sepeti kemarin, langsung di-lockdown dan tidak bisa bergerak. Nanti dengan interoperability, orang sehat boleh muter-muter, bergerak, ekonomi bisa jalan,” ujar Kunta.
Pada titik ini, aplikasi kesehatan di masing-masing negara telah tersambung, sehingga dapat saling melengkapi. Pelaku perjalanan dari Indonesia ke negara lain, tidak perlu memasang aplikasi negara tujuan. Seluruh status kesehatan pelaku perjalanan, dapat dilihat dengan harmonisasi aplikasi antarpemerintah.
Kesepakatan kelima, adalah melakukan analisa kesenjangan dan pemetaan jaringan penelitian dan manufaktur. Negara-negara didorong membangun manufaktur dan penelitian di bidang vaksin, terapi dan diagnosis. Ada tujuh negara anggota G20 yang berminat terhadap skema ini, yaitu Argentina, Brazil, India, Indonesia, Arab Saudi, Turki dan Afrika Selatan. Seluruh pihak akan membentuk ekosistem manufaktur dari vaksin, obat-obatan dan alat diagnostik, untuk menghadapi pandemi di masa depan. [ns/em]
Forum