Kedua sosok pemimpin dunia tersebut telah saling kenal selama beberapa dekade, kerap bertemu dalam acara internasional yang tak terhitung jumlahnya. Namun kedekatan antara Presiden AS Joe Biden dan Benjamin Netanyahu sedikit merenggang ketika perdana menteri Israel itu menghadapi krisis besar-besaran terkait masalah reformasi peradilan di negaranya.
Bagi Presiden AS yang diusung oleh Partai Demokrat, yang telah menjadi pendukung setia Israel selama lima dasawarsa, dilema ini semakin menjadi masalah publik saat dia mencari cara untuk bekerja dengan pemerintah Israel yang disebut beraliran paling kanan dalam sejarah.
Meskipun Biden terus menegaskan "keteguhan" dukungan Amerika untuk sekutu Israel, ia menggambarkan pemerintahan negara tersebut sebagai yang paling "ekstremis" yang pernah dia kenal.
Meskipun Biden mendesak Netanyahu untuk mengambil langkah hati-hati terkait reformasi yudisial, bahkan mengecamnya, pemimpin Israel tersebut tetap maju tanpa ragu. Bahkan Netanyahu menggambarkan desakan itu sebagai "koreksi kecil" meskipun sebetulnya hal tersebut telah menimbulkan protes massal di negaranya dan menuai kritik tajam dari luar negeri.
Fenomena itu mengejutkan: meski Biden telah melibatkan dirinya dalam masalah internal Israel sampai tingkat keterlibatan yang jarang terjadi bagi seorang presiden AS, pengaruhnya masih tetap terbatas.
Menyesalkan
Gedung Putih, Senin (24/7), menyebut persetujuan Knesset Israel terhadap langkah-langkah utama dalam rencana reformasi yudisial sebagai hal yang "menyedihkan." Para pendukung Netanyahu sendiri bersikeras bahwa langkah tersebut memberikan keseimbangan kekuasaan yang diperlukan cabang-cabang pemerintahan.
Di luar dugaan, Presiden AS mengundang seorang kolumnis New York Times, Thomas Friedman, ke Gedung Putih untuk menggarisbawahi penentangannya terhadap reformasi yang dianggap Biden sebagai "sumber perpecahan".
Di luar reformasi itu sendiri, pemerintahan Biden tidak menyembunyikan rasa frustrasinya atas aneksasi Israel atas wilayah Palestina, yang telah berlangsung meskipun AS berulang kali menyerukan agar kedua belah pihak mengurangi dan menghindari tindakan sepihak.
Namun, meskipun Washington terus menyuarakan dukungan formal untuk solusi dua negara bagi Israel dan Palestina, tampaknya Israel menganggap sepi seruan itu. Suara AS semakin terasa seperti berbicara di tengah hutan belantara tanpa pendengar.
Ketegangan terbaru mengingatkan pada ketegangan antara Presiden Barack Obama dan Netanyahu pada 2015, ketika Biden menjadi wakil presiden dan AS sedang merundingkan perjanjian nuklir dengan Iran, yang menunjukkan ketidaksenangan Israel.
Kesepakatan itu hampir mati sejak presiden Donald Trump, yang dekat dengan Netanyahu, menarik diri dari pakta tersebut pada 2018. Upaya Biden untuk menghidupkannya kembali berulang kali menjadi sia-sia.
Ketegangan itu muncul lagi dalam pertikaian tentang apakah Netanyahu akan diundang ke Gedung Putih untuk pertama kalinya sejak dia kembali berkuasa pada akhir tahun lalu.
Seolah-olah melecehkan karena tidak menganggap sosok perdana menteri, Biden minggu lalu justru menjamu Presiden Israel Isaac Herzog, seorang moderat politik.
Dalam sebuah wawancara dengan ABC, Netanyahu membantah dilecehkan. Ia mengatakan Biden memang mengundangnya ke Gedung Putih, sebuah pertemuan yang menurutnya mungkin akan berlangsung pada September.
Namun Gedung Putih, jelas kesal, tidak mengkonfirmasi baik tempat maupun waktu yang tepat, hanya mengatakan bahwa kedua pemimpin itu akan "bertemu di AS pada akhir tahun ini."
Tidak akan Terjadi
Terlepas dari segala hiruk-pikuk itu, para pakar sepakat bahwa dukungan AS untuk Israel tidak akan melemah.
Ada seruan, termasuk dari sayap kiri Partai Demokrat, untuk memangkas bantuan militer AS ke Israel.
Namun para diplomat AS dengan tegas menolak hal itu. "Saya hanya akan mengatakan bahwa itu tidak akan terjadi," kata juru bicara Departemen Luar Negeri Vedant Patel kepada wartawan.
Setiap tahun, AS menggelontorkan $3,3 miliar bantuan militer ke Israel.
Max Boot dari Dewan Hubungan Luar Negeri di Washington mengatakan dia memperkirakan bahwa "kami akan memiliki hubungan yang tegang antara Biden dan Netanyahu ke depannya."
“Salah satu alasan mengapa Netanyahu bersedia menjadi begitu konfrontatif dengan Biden," katanya, adalah bahwa "ia merasa aman dengan dukungan yang diberikan oleh anggota Partai Republik di Kongres, yang pada dasarnya mengadopsi posisi 'Israel benar atau salah'."
Dinamika itu tidak akan luput dari Biden, yang mencalonkan diri untuk masa jabatan kedua tahun depan.
Namun, Boot percaya bahwa keterkaitan Netanyahu yang erat dengan sayap Partai Republik yang dipimpin oleh Trump membawa risiko - yaitu "mengasingkan banyak sektor opini publik AS lainnya."
Sementara itu, AS dan Israel sedang giat memperjuangkan normalisasi hubungan antara negara Yahudi dan Arab Saudi, yang akan menjadi perubahan besar dalam lanskap geopolitik Timur Tengah yang Riyadh akan berusaha keras untuk mendapatkan.
"Kami sedang mengusahakannya," kata Netanyahu kepada ABC pada Kamis.
Dia berbicara saat penasihat keamanan nasional AS Jake Sullivan berada di Jeddah untuk pembicaraan kedua kalinya dalam beberapa bulan, dan setelah kunjungan Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken pada Juni. [ah/ft]
Forum