Salah satu jalur perdagangan minyak paling menguntungkan Rusia, sejak diberlakukannya sanksi Barat terkait konflik di Ukraina, menghadapi tantangan besar akibat keterbatasan pembayaran dalam mata uang selain dolar, tanpa solusi jangka pendek yang terlihat.
Selama beberapa dekade, mata uang dolar AS menjadi mata uang perdagangan minyak internasional, dan upaya untuk menemukan alternatif terhalangi oleh isu kesulitan konversi, serta hambatan politik.
Masalah tersebut muncul ke permukaan ketika India bersikeras pada Juli untuk membayar pembelian minyak dari Rusia dalam rupee. New Delhi sendiri merupakan pembeli terbesar minyak Rusia sejak pelanggan Eropa mundur akibat invasi Moskow di Ukraina. Sikap gigih India dalam penggunaan mata uang membuat aktivitas perdagangan hampir berantakan, demikian disampaikan tiga sumber yang akrab dengan masalah tersebut.
Sumber yang tidak ingin disebutkan namanya itu mengatakan bahwa produsen minyak Rusia tidak dapat melakukan transaksi dalam rupee India karena panduan informal dari bank sentral Rusia yang tidak akan menerima mata uang tersebut.
Salah satu sumber perbankan Rusia yang dekat dengan bank sentral Rusia mengatakan menerima pendapatan dalam mata uang yang tidak dapat dikonversi dan bernilai kecil di luar India adalah hal yang “tidak ada gunanya.” Rusia memiliki peluang terbatas untuk membelanjakan rupee karena impornya dari India tidak signifikan, kata sumber lain.
Bank sentral Rusia tidak menanggapi permintaan komentar.
Sekitar pertengahan Agustus, setidaknya dua perusahaan minyak besar Rusia mengancam akan mengalihkan belasan kapal tanker yang membawa hingga satu juta ton minyak yang menuju India ke tujuan lain, menurut dua sumber.
Sebagai solusi sementara untuk konflik yang melibatkan kesepakatan India, muatan tersebut dibayar dalam kombinasi mata uang yuan China, dolar Hong Kong sebagai mata uang transisi ke yuan, dan dirham Uni Emirat Arab, yang terikat dengan dolar AS, demikian disampaikan oleh 10 sumber perdagangan dan pejabat kepada Reuters.
Namun mereka mengatakan, permasalahannya adalah menemukan alternatif mata uang yang layak jika disandingkan dengan dolar. Dan masalah tersebut mempengaruhi pembeli di Afrika, China dan Turki yang merupakan pembeli utama minyak Rusia.
Namun masalah terbesarnya adalah India, yang telah membeli lebih dari 60 persen minyak Rusia, menurut data LSEG dan perhitungan Reuters. India merupakan pembeli terbesar secara keseluruhan dari minyak mentah laut Rusia setelah China.
Permasalahan tersebut kemungkinan akan bertambah buruk seiring dengan meningkatnya pengawasan terhadap perdagangan. Washington memberlakukan sanksi pertama terhadap pemilik kapal tanker yang membawa minyak Rusia dengan harga di atas batas harga Barat dalam beberapa pekan terakhir, pemberlakuan sanksi pertama sejak diberlakukan pada akhir tahun lalu.
Sejak sanksi Barat diberlakukan pada Rusia pada Februari tahun lalu, Moskow beralih dari transaksi dalam dolar dan euro, mata uang dominan dunia, dan sebagian besar terbatas aksesnya ke sistem perbankan internasional.
Menurut lima pedagang yang terlibat, kurang dari 10 persen produksi Rusia yang berjumlah sekitar 9 juta barel minyak per hari (bph) dijual dalam mata uang dolar dan euro.
Bank sentral Rusia tidak dapat menggunakan dolar karena adanya sanksi. Meskipun eksportir Rusia secara teoritis dapat menggunakan mata uang tersebut, tetapi menghindari penggunaan mata uang tersebut memiliki keuntungan yang mempersulit Amerika Serikat (AS) dan pemerintah Barat lainnya untuk memantau perdagangan mereka.
Namun, alternatif yang ada menimbulkan risiko tingkat tinggi bagi kedua belah pihak dalam kesepakatan.
India pada bulan-bulan pertama tahun ini berhutang sekitar $40 miliar kepada Rusia untuk pasokan minyak dan sejumlah pasokan lainnya, menurut empat sumber perdagangan dan perbankan. Rusia sendiri beranggapan akan sangat sulit baginya jika melakukan bisnis dengan menggunakan mata uang rupee.
India mendorong agar rupee dibelanjakan di wilayahnya. New Delhi juga memberlakukan tarif tukar yang bersifat hukuman saat mengonversi rupee ke mata uang lain, yang pada beberapa kesempatan mencapai lebih dari 10 persen dari jumlah yang dikonversi, menurut dua sumber Rusia.
Situasi tersebut bisa mereda jika Rusia mengimpor lebih banyak barang dari India, yang bisa dibayar dengan rupee.
Pejabat Rusia dan eksekutif perminyakan sendiri menekan pembeli India untuk membayar dalam yuan China, yang bagi Rusia merupakan mata uang yang lebih berguna.
Bagi India, menggunakan mata uang pesaing regionalnya sangatlah sensitif, meskipun perusahaan kilang swasta India telah beralih kembali ke yuan karena kurangnya pilihan lain sejak konflik tersebut terjadi awal tahun ini, kata sumber tersebut.
Kilang-kilang milik Pemerintah India kini beralih ke dirham UEA. Namun hal tersebutt dipersulit dengan adanya persyaratan kliring tambahan karena kebijakan Washington yang lebih tegas membuat pemerintah negara-negara lain menjadi waspada.
Sejak Oktober, beberapa bank UEA memperketat kontrol terhadap klien yang berfokus di Rusia untuk memastikan kepatuhan terhadap batasan harga, menurut lima sumber perdagangan minyak dan bank. [ah/rs]
Forum