Tapi kalau pun hal itu tercapai, pemerintahan AS ke depan masih akan mewarisi masalah dalam mengatasi ketegangan di Timur Tengah. Wartawan VOA Patsy Widakuswara melihat kebijakan yang mungkin akan diambil pemerintahan Kamala Harris jika kelak ia memenangkan pemilu presiden November nanti.
Serangan Israel yang menelan korban jiwa kembali terjadi di sebuah kamp pengungsi di Gaza, ketika sejumlah perunding sedang berusaha mencapai kesepakatan gencatan senjata dengan imbalan pembebasan sandera Israel yang masih ditahan oleh Hamas.
Salah seorang sandera, Farhan Alkadi, berhasil dibebaskan Selasa lalu.
Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu memberi ucapan selamat kepadanya. “Selamat tiba kembali di tanah air Farhan Alkadi. Saya juga ingin mengucapkan selamat kepada tentara Israel dan Shin Bet atas keberasilan sebuah operasi penyelamatan lagi. Kami akan terus bekerja tanpa lelah untuk memulangkah seluruh sandera.”
Wakil Presiden AS Kamala Harris juga menggarisbawahi hal ini saat ia menerima nominasi sebagai calon presiden Partai Demokrat minggu lalu.
“Saya dan Presiden Biden sedang berupaya mengakhiri perang ini sehingga Israel aman, para sandera dibebaskan, penderitaan di Gaza berakhir dan rakyat Palestina dapat mewujudkan hak-hak mereka atas martabat, keamanan, kebebasan dan penentuan nasib sendiri,” kata Harris.
Kesinambungan Kebijakan Luar Negeri Pemerintahan Demokrat
Di luar masa jabatannya sebagai wakil presiden, Harris tidak memiliki latar belakang kebijakan luar negeri apapun. Phillip Gordon menjadi Penasihat Keamanan Nasional-nya. Gordon selama ini bekerja di bawah pemerintahan Partai Demokrat, termasuk di era pemerintahan Bill Clinton, Barack Obama, dan Joe Biden.
Hal ini menandakan kesinambungan dengan pemerintahan Partai Demokrat di masa lalu, termasuk dalam hal dukungan militer untuk Israel, sesuatu yang ditegaskan kembali oleh mantan penasihat keamanan nasionalnya, Halie Soifer, yang kini menjadi Presiden Jewish Democratic Council of America.
“Wakil Presiden Kamala Harris dan Presiden Joe Biden telah memberikan dukungan bantuan militer kepada Israel, tidak saja berdasarkan perjanjian yang kita miliki saat ini dengan Israel, tetapi juga peningatan bantuan yang diberikan tahun ini karena kebutuhan keamanan,” ujar Soifer.
Bantuan ini tetap disalurkan meskipun ada tuntutan dari warga Muslim-Amerika dan keturunan Arab di Amerika dan kelompok progresif dan muda di Partai Demokrat agar pemerintah melakukan embargo penjualan senjata ke Israel.
Pada saat yang sama, Harris juga menyampaikan lebih banyak simpati kepada warga Palestina yang menderita.
Analis politik di Bar-Ilan University, Jonathan Rynhold mengatakan, “Kita tidak bisa belajar banyak dari apa yang dia katakan karena apa yang dia katakan sekarang ditujukan untuk memenangkan pemilu dan menjaga persatuan Partai Demokrat. Dan karena Partai Demokrat terbagi antara mereka yang lebih bersimpati pada Israel dan mereka yang lebih bersimpati pada Palestina secara merata, maka pada dasarnya Kamala harus mengatakan hal yang biasa-biasa saja, kata-kata hampa, dan itulah yang telah dia lakukan.”
Kamala Beri Pandangan Alternatif
Dibandingkan dengan Biden, yang sering menggarisbawahi bahwa dia adalah seorang Zionis; Harris, yang anak imigran dari Jamaika dan India mungkin lebih memahami pandangan dari negara-negara Selatan.
Pakar Timur Tengah di CSIS, Natasha Hall mengatakan, “Dia menyadari bagaimana perasaan seluruh dunia terhadap Timur Tengah, terhadap neo-kolonialisme, neo-imperialisme, dan saya sangat berharap dia memiliki kesempatan untuk membawa pengalaman-pengalaman itu jika kelak menjadi presiden. Karena itulah realitas yang dibutuhkan dalam kebijakan luar negeri AS untuk menghadapi tantangan-tantangan di masa depan, yang sangat berbeda dengan tantangan-tantangan dalam tiga dekade terakhir.”
Jika ia menang November nanti, Kamala Harris akan mewarisi tantangan-tantangan yang dihadapi para pendahulunya, termasuk konflik yang berkepanjangan di Timur Tengah. Dia harus merumuskan kebijakan luar negerinya sendiri, suatu hal yang kompleks dan berisiko tinggi, yang melibatkan berbagai kepentingan.
Hal ini sudah tampak hari Rabu ini (28/8) ketika Israel kembali menyerang Tepi Barat dan Deir-el-Balah di Jalur Gaza, yang menewaskan puluhan orang. Presiden Otoritas Palestina Mahmoud Abbas mempersingkat lawatannya ke Riyadh, Arab Saudi, dan langsung kembali ke Palestina seusai bertemu Putra Mahkota Mohammad bin Salman. [em/lt]
Forum