Sedikitnya tujuh anak buah kapal (ABK) asal Indonesia hilang di perairan Port Louis, Mauritius, Afrika Timur sejak Februari 2021 lalu. Mereka diketahui bekerja di dua kapal berbendera di Taiwan, yaitu enam orang di kapal Wei Fa dan satu lagi bekerja di kapal Dehai 16. Direktur Perlindungan Warga Negara Indonesia dan Badan Hukum Indonesia Kementerian Luar Negeri Judha Nugraha menjelaskan hal ini dalam jumpa pers mingguan hari Kamis (10/2).
“Berdasarkan keterangan saksi mata, pada 26 Februari 2021 malam, kapal Wei Fa meninggalkan dermaga bersama enam ABK asal Indonesia dan satu ABK kapal Dehai berangkat menuju ke laut dan kemudian dinyatakan hilang," kata Judha.
Kemudian pada 2 Maret, lanjut Judha, aparat keamanan Mauritius dapat menarik kembali kapal Wei Fa ke Pelabuahn Port Louis, namun tujuh ABK asal Indonesia tidak ditemukan. Aparat keamanan setempat kemudian menyelidiki semua awak kapal Wei Fa dan menemukan indikasi terjadi tindakan kriminal. Proses pencarian di laut dilakukan tapi ketujuh ABK ini masih belum dapat ditemukan.
Lalu pada September 2021, kepolisian Mauritius melansir keterangan resmi yang menyatakan tujuh ABK dari Indonesia tersebut hilang.
Judha menekankan Kementerian Luar Negeri dan Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Ibu Kota Antanarivo, Madagaskar, telah melakukan beragam cara dan komunikasi intensif dengan pihak-pihak berwenang di Mauritius. Kementerian Luar Negeri juga sudah melayangkan tujuh nota diplomatik ke Kementerian Luar Negeri Mauritius untuk mendorong proses penyelidikan dan mendapat kejelasan akan nasib ABK Indonesia itu.
Menurutnya, Duta Besar Indonesia untuk Madagaskar Heru Wicaksono pada 25 Januari lalu telah menyurati Menteri Luar Negeri Mauritius Alan Ganoo. Isinya meminta proses penyelidikan dan mendorong proses penegak hukum jika terbukti ada tindakan kriminal.
Kementerian Luar Negeri juga telah berkoordinasi dengan Kantor Dagang Indonesia di Ibu Kota Taipei, Taiwan, karena kedua kapal ikan tersebut berasal dari negara itu agar hak-hak ketujuh ABK Indonesia yang belum diketahui nasibnya ini dipenuhi. Sejauh ini keluarga ABK itu sudah mendapat hak asuransi mereka.
Judha menegaskan Kementerian Luar Negeri mendesak pemerintah Mauritius untuk mempercepat proses penyelidikan dan penegakan hukum untuk bisa memberikan kepastian terhadap nasib dan hak-hak ketujuh ABK yang masih dinyatakan hilang itu.
DFW Sayangkan Kelambatan Penyelidikan
Koordinator Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia Mohd Abdi Suhufan menduga ketujuh ABK Indonesia hilang dilaut itu karena tindakan kriminal. Hanya saja dia menyayangkan kenapa sudah setahun belum ada informasi akurat mengenai hal itu.
"Karena lima hari yang lalu, pihak keluarga korban dari NTT (Nusa tenggara Timur) masih mempertanyakan nasib anaknya yang belum jelas. Walaupun pihak Kemlu mengklaim sudah ada penyelesaian dari pihak agensi atau pihak kapal, ini belum selesai sepenuhnya dan masih menyisakan masalah," ujar Abdi.
Mengingat belum ada informasi perusahaan mana yang memberangkatkan ketujuh ABK tersebut, Suhufan menyerukan Kementerian Koordinator Bidang Maritim untuk memanggil pihak-pihak yang selama ini bertanggung jawab terhadap perusahaan-perusahaan pengirim ABK keluar negeri.
Menurut Abdi, pemberangkatan ABK untuk kapal ikan ada yang perlu izin dari Kementerian Perhubungan dan Kementerian Ketenagakerjaan. Dia berharap ketujuh ABK yang hilang itu bukan berangkat ke luar negeri tanpa izin.
Belajar dari berbagai kasus yang menimpa ABK bekerja di luar negeri, Abdi kembali mendesak pemerintah untuk memberlakukan izin satu pintu sehingga pemerintah memiliki satu data terpusat mengenai status hukum perusahaan pemberangkatan ABK, perusahaan juga menjadi jelas kemana harus mengurus izin dan calon ABK juga bisa memastikan untuk mengecek status perusahaan yang akan memberangkatakan mereka.
Hingga saat ini seruan DFW itu belum mendapat tanggapan pemerintah.[fw/em]