Provinsi Aceh berperan penting membantu ratusan manusia perahu Asia yang tinggal di kamp-kamp pengungsi sementara setelah menempuh perjalanan mengenaskan di lautan. Para pekerja bantuan kemanusiaan mengatakan masih banyak warga Rohingya lainnya yang akan mengambil risiko menempuh perjalanan serupa dalam bulan-bulan ke depan, termasuk setelah bulan suci Ramadan.
Di bagian utara Aceh, terdapat sekitar 2.000 pengungsi dari Bangladesh dan etnis Muslim Rohingya dari Myanmar ditampung di kamp setelah diselamatkan dari lautan oleh nelayan lokal. Di bawah perjanjian lokal, warga Rohingya dapat tinggal di tempat penampungan selama setahun.
Bagi warga Rohingya ini, Aceh menjadi harapan terakhir mereka setelah ditelantarkan para penyelundup manusia di lautan.
Lilian Fan, seorang pekerja kemanusian dan peneliti yang bekerja di Aceh, mengatakan hanya nelayan lokal yang mau menolong para pengungsi Rohingya.
"Aceh, yang masih di bawah pengaruh konflik sepanjang 30 tahun, mungkin satu-satunya tempat yang benar-benar menyambut warga Rohingya - benar-benar menerima mereka dengan semangat kemanusiaan. Saya kecewa dengan para pelaku di wilayah ini - internasional, regional, nasional - atas kurangnya kemampuan merespon untuk menyelamatkan mereka yang nyawanya terancam," ujar Fan.
Nelayan lokal yang diperintahkan pihak berwenang untuk tidak ikut campur, justru membantu menyelamatkan para migran dari kapal-kapal mereka. Angkatan laut RI, katanya, awalnya menghukum mereka dengan mencabut izin kapal mereka untuk melaut. Tapi para nelayan terus melanjutkan pencarian mereka.
"Mereka ini orang biasa, nelayan dan warga desa dan orang-orang di Aceh yang juga pernah menjadi korban konflik," kata Fan.
Sejumlah besar warga etnis Muslim Rohingya melarikan diri dari penganiayaan, kekerasan dan pengucilan di provinsi Rakhine di Myanmar, di mana mereka tidak dianggap sebagai warga negara. Keputusasaan yang melanda mendorong mereka untuk berpaling kepada para penyelundup dan menempuh perjalanan yang berbahaya ke Malaysia ataupun Indonesia.
Kapal pertama yang mengangkut migran Rohingya ditemukan di Aceh bagian timur pada tanggal 10 Mei, disusul dengan kapal kedua lima hari kemudian. Kekurangan makanan di kapal mengakibatkan perkelahian antara warga Rohingya dengan Bangladesh. Pekerja-pekerja kemanusiaan mengatakan beberapa orang tewas atau menderita luka-luka serius. Kapal terakhir ditemukan di Aceh tanggal 20 Mei.
Pemerintah Indonesia memberi dukungan finansial bagi kamp-kamp pengungsi di Aceh, dan mengucurkan dana $174.000 (Rp 2,3 juta) untuk membantu para migran dari Bangladesh dan Rohingya. Tapi pemerintah juga mengharapkan bantuan internasional.
Htike Htike, seorang pekerja kemanusiaan Rohingya dan salah seorang pendiri Equal Harmony Together Foundation, mengatakan banyak pengungsi di kamp-kamp ini khawatir dengan masa depan mereka dan keluarga yang mereka tinggalkan di kampung halaman.
"Pemerintah [Indonesia] mengatakan akan menampung warga Rohingya selama setahun di Aceh. Tapi semua orang tetap ingin tahu apa yang akan terjadi pada mereka setelah itu. Apakah mereka akan dideportasi kembali ke Burma [Myanmar] atau akankah mereka punya pilihan untuk tinggal di Aceh," ujar Htike.
Walaupun perjalanan yang harus mereka tempuh sangat berbahaya, diperkirakan akan ada lebih banyak lagi warga Rohingya yang mencari pertolongan di Indonesia. Htike mengatakan sebagian pengungsi perempuan di Aceh memiliki suami yang telah meninggalkan Myanmar tahun 2012 dan 2014 dan diyakini tinggal di Malaysia. Mereka mungkin akan mencoba untuk datang ke Aceh untuk bergabung dengan keluarga mereka setelah bulan suci Ramadan.
Warga Rohingya yang masih tertinggal di provinsi Rakhine, mungkin juga akan mengambil risiko menempuh perjalanan selama pergantian musim di bulan-bulan mendatang, sebelum lautan mulai tenang di bulan Oktober.