Myanmar mulai memproses lebih dari 700 manusia perahu yang diselamatkan dari pesisir wilayahnya pekan ini.
Para pejabat dekat kota perbatasan di sebelah barat, Maungdaw, mengatakan kepada wartawan-wartawan VOA yang berada di lokasi bahwa para pengungsi, termasuk di antara mereka lebih dari 70 perempuan dan 40 anak-anak, sedang ditransfer Rabu ke sebuah pusat imigrasi dekat kota Taung Pyo.
VOA mendapat akses eksklusif untuk mengunjungi para tahanan, yang mengatakan mereka berada dalam kondisi mengenaskan selama tiga bulan di sebelum kemudian dibawa kembali ke daratan.
Para petugas mengatakan proses ini akan memakan waktu tiga hari sebelum pihak berwenang dapat menetapkan status para migran ini dan memutuskan langkah berikutnya.
Myanmar tidak mengakui kaum etnis Muslim Rohingya, menyebutnya sebagai orang Benggala.
"Warga Rohingya harus diperlakukan sebagai warga negara Myanmar," ujar Anne Richard, asisten Departemen Luar Negri AS bagi urusan Kependudukan, Pengungsi dan Migrasi, saat berbicara kepada reporter di Indonesia, Rabu. "Mereka butuh dokumen untuk menunjukkan hal itu."
Bulan lalu, 208 pengungsi, semuanya pria, dan 11 awak ditemukan di atas perahu yang telah terombang-ambing di lautan selama berbulan-bulan.
Semuanya, kecuali delapan orang di antara mereka, mengatakan mereka berasal dari Bangladesh dan ditahan di kamp dekat Taung Pyo, di Myanmar, hanya beberapa kilometer dari perbatasan dengan Bangladesh.
Sebagian besar dari mereka mengatakan mereka diculik dari kota pelabuhan Cox's Bazar dan pelabuhan-pelabuhan lainnya di Bangladesh, hanya untuk kemudian dijual kepada para penyelundup manusia.
Ismail, 54 tahun, mengatakan ia datang ke Cox's Bazar untuk mencari pekerjaan. "Ketika saya sampai di sana, seorang perantara memerangkap saya ke dalam kekacauan ini. Saya tidak pernah berniat pergi ke Malaysia," katanya.
Ketika diminta mengacungkan tangan, semua kecuali seorang pria mengatakan mereka diangkut dengan paksa ke dalam perahu. Ketika ditanya apakah mereka akan mencoba mencari pekerjaan di luar negeri ke depannya, hanya sepertiga dari mereka mengacungkan tangan.
Ketika VOA mewawancarai para migran, tiga pejabat tidak berseragam yang tidak menyebut identitas mereka memantau berlangsungnya wawancara dan merekamnya dengan ponsel mereka.
Para migran tersebut telah mendekam di pusat tahanan selama hampir dua minggu sejak diselamatkan pada 21 Mei setelah tiga bulan terkatung-katung di lautan.
Seorang pria bernama Muhammad mengatakan pengalamannya bagaikan mimpi buruk.
"Pengalaman saya di kapal penangkap ikan adalah yang paling buruk, saya belum pernah menderita seperti itu seumur hidup saya. Kita diberi nasi dua kali sehari di atas kapal dan kami selamat," ujarnya.
Ia menambahkan, mereka hanya diberi sedikit air segar setiap harinya dan dipukuli bila mereka meminta lebih banyak.
Pihak berwenang Myanmar mengatakan kepada VOA bahwa para pejabat dari kedutaan besar Bangladesh telah mengunjungi para pengungsi pada 25 Mei dan berupaya untuk melakukan verifikasi terhadap status kewarnegaraan mereka. Bila pengakuan status kewarganegaraan mereka terbukti benar, mereka dapat dipulangkan.
Seorang pria bernama Mahmoud mencucurkan air mata, meminta Bangladesh untuk menerimanya kembali.
"Karena penipu [perantara] itu, kami menderita selama tiga bulan di lautan tanpa bantuan. Jika angkatan laut Myanmar tidak membantu kami, kami akan kelaparan dan mati di laut," katanya.
Warga Thailand yang dicurigai sebagai pemilik kapal dan setidaknya sembilan awak telah ditahan dan kini sedang diselidiki aparat Myanmar. Mereka belum dapat berbicara kepada media untuk menyampaikan versi cerita mereka.
Delapan orang yang menyebut diri mereka sebagai orang Rohingya dari Myanmar termasuk di antara para migran yang diselamatkan dari kapal yang sama, tapi VOA tidak dapat menemui mereka karena mereka ditahan untuk penyelidikan lebih lanjut dan tidak diperkenankan untuk berbicara kepada media.
Provinsi Rakhine bagian utara adalah "salah satu daerah paling opresif yang pernah saya kunjungi," ujar Asisten Menlu AS Anne Richard. "Sangat aneh rasanya dikelilingi orang-orang yang melihat Anda dan terlalu takut untuk berbicara dengan Anda. Terutama bila mereka anak-anak. Ini tidak normal," ujar Richard kepada wartawan di Indonesia, Rabu.
Sejak penemuan kuburan-kuburan massal di hutan sepanjang perbatasan Thailand dengan Malaysia sebulan lalu, para pejabat di Thailand, yang berada di bawah rezim militer, telah menahan lebih dari 50 orang.
Aktivis berpendapat rute-rute penyelundupan tidak akan dapat ditempuh selama bertahun-tahun tanpa sepengetahuan pihak-pihak berwenang, terutama di Thailand dan Malaysia. Kedua negara kini telah berjanji akan menyelidiki perkara ini secara tuntas.
Seorang pejabat militer senior Thailand menyerahkan diri kepada pihak berwenang Rabu, menjadikannya sebagai tersangka penyelundup manusia dengan pangkat tertinggi.
"Saya meminta keadilan. Saya siap untuk bekerja sama sepenuhnya dengan para pejabat dalam segala hal," ujar Letnan Jenderal Manus Kongpan sebelum menyerahkan dirinya kepada polisi.
Pejabat-pejabat PBB memperkirakan ada sekitar 2.000 migran masih terombang-ambing di lautan.
Tom Vargas, seorang penasehat regional bagi lembaga pengungsi PBB (UNHCR) mengatakan, "Kebanyakan dari mereka sekarang berada Teluk Benggala dan sebagian lainnya kemungkinan berada dekat Malaysia dan Indonesia, tapi kami tidak tahu lokasinya yang persis."
Koresponden VOA Steve Herman menyumbangkan liputannya bagi laporan ini dari Bangkok.