Tautan-tautan Akses

Aktivis: Persidangan Anggota TNI Pelaku Kekerasan Sadis Harus di Papua


Seorang tersangka saat melakukan rekonstruksi di Mimika pada 3 September 2022, setelah dia dan lima tentara ainnya didakwa atas tuduhan pembunuhan terhadap empat warga asli Papua dan memutilasi tubuh mereka. (Foto: AFP/Sevianto Pakiding)
Seorang tersangka saat melakukan rekonstruksi di Mimika pada 3 September 2022, setelah dia dan lima tentara ainnya didakwa atas tuduhan pembunuhan terhadap empat warga asli Papua dan memutilasi tubuh mereka. (Foto: AFP/Sevianto Pakiding)

Tentara Nasional Indonesia (TNI) meminta maaf dan menjanjikan tindakan hukum bagi pelaku kekerasan sadis di Puncak, Papua. Demi transparansi dan netralitas, aktivis meminta pengadilan dilakukan di Jayapura. Ada harapan efek jera, meskipun pengalaman menunjukkan sebaliknya.

Pengadilan terhadap anggota TNI pelaku aksi kekerasan sadis, yang videonya tersebar luas, diharapkan akan dilakukan di Jayapura. Desakan itu disampaikan sejumlah aktivis pembela HAM di Papua yang dihubungi VOA.

“Kami mendesak agar pengadilan terhadap para pelaku dilakukan di Pengadilan Militer 19/Jayapura. Agar publik dapat mengakses informasi terkait proses hukum secara lebih mudah dan terbuka,” kata Direktur Aliansi Demokrasi untuk Papua (AlDP), Latifah Anum Siregar.

Alasan kuatnya adalah karena peristiwa ini terjadi di Papua, dan mendapat perhatian luas masyarakat setempat. Anum menyebut, penting agar penanganan kasus ini didekatkan kepada publik yang memberikan perhatian serius terhadap kasus tersebut, dalam hal ini warga Papua.

Desakan yang sama disampaikan Direktur LBH Papua, Emanuel Gobay.

“Lokasinya di Jayapura, karena TKP (Tempat Kejadian Perkara) di sini. TKP-nya di Papua, tepatnya di Puncak Jaya, dan itu masuk dalam wilayah Pengadilan Militer Papua yang ada di Jayapura,” ujar Gobay.

Alasan Gobay juga senada dengan Latifah.

“Itu akan lebih maksimal. Dengan demikian masyarakat akan mengikuti langsung dan rasa keadilan bagi korban mapun keluarga korban, maupun bagi masyarakat itu akan terobati,” kata dia.

Direktur LBH Papua, Emanuel Gobay. (Foto: Dok Pribadi)
Direktur LBH Papua, Emanuel Gobay. (Foto: Dok Pribadi)

Seperti diketahui, beredar luas video aksi penyiksaan yang diduga dilakukan oleh anggota TNI anggota Yonif Raider 300/Braja Wijaya di Pos Gome, Kabupaten Puncak, Papua. Tindak penyiksaan itu terjadi pada 3 Februari 2024. Korbannya adalah Definus Kogoya, yang oleh anggota TNI diduga sebagai anggota TPNPB.

Sempat ada penyangkalan oleh pihak TNI, khususnya Pangdam XVII Cenderawasih, tetapi kemudian diakui dan militer meminta maaf.

Dalam pejelasan resmi di hadapan media pada 25 Maret di Jakarta, Pangdam XVII/Cendrawasih, Mayjen TNI Izak Pangemanan berjanji akan menindak tegas pelaku yang terlibat.

“Kita akan usut tuntas permasalahan ini, apa yang terjadi di sana akan menjadi bahan untuk proses hukum nanti. Tidak ada satu pun yang boleh lolos dari sini, semua yang terlibat akan dihukum sesuai dengan prosedur hukum yang berlaku,” kata dia.

Pangdam juga menegaskan bahwa tindakan tersebut tidak dibenarkan dan melanggar hukum serta mencoreng nama baik TNI.

“Saya atas nama TNI Angkatan Darat minta maaf kepada seluruh masyarakat Papua, dan kami akan terus berusaha agar kejadian-kejadian seperti ini, tidak terulang lagi di masa-masa mendatang. Kami akan meningkatkan terus pengawasan-pengawasan terhadap satgas-satgas yang melaksanakan tugas di daerah Papua,” kata dia.

Perkembangan terakhir kasus ini, seperti disampaikan melalui laman resmi Kodam XVII Cendrawasih, 13 anggota TNI sudah ditetapkan sebagai tersangka. Upaya penyidikan ini merupakan kerja sama Kodam Cendrawasih dan Kodam III/Siliwangi yang merupakan asal para prajurut terduga pelaku kekerasan.

“Saksi-saksi telah diminta keterangan, termasuk hasil visum telah diterima oleh penyidik, beserta barang bukti lainnya,” kata Kepala Penerangan Kodam (Kapendam) XVII/Cenderawasih Letkol Inf Candra Kurniawan.

“Saat ini proses hukum masih terus berjalan,” tambah dia.

Rekonstruksi kasus pembunuhan dan mutilasi di Mimika, Timika, Papua digelar Sabtu (3/9). (Foto: Courtesy/Gustaf Kawer)
Rekonstruksi kasus pembunuhan dan mutilasi di Mimika, Timika, Papua digelar Sabtu (3/9). (Foto: Courtesy/Gustaf Kawer)

Sementara itu, kantor berita Reuters melaporkan bahwa Komisi HAM PBB pada Kamis (28/3) menyatakan keprihatinannya, terkait pembunuhan di luar proses hukum di Papua.

“Komite prihatin dengan banyaknya laporan mengenai pembunuhan di luar proses hukum dan penghilangan paksa anggota masyarakat adat di Papua, yang belum diinvestigasi meskipun negara berkomitmen untuk melakukan hal tersebut,” kata komisi itu dalam sebuah laporan yang dipublikasikan di Jenewa.

Komisi HAM PBB merekomendasikan Indonesia agar segera menyelidiki semua pelanggaran HAM, termasuk penahanan sewenang-wenang, penghilangan paksa, penyiksaan dan penganiayaan, serta pembunuhan di luar proses hukum. Selain itu, dalam laporannya, Komisi HAM PBB juga meminta Indonesia memperkuat upaya mengakhiri impunitas dan meminta pertanggungjawaban para pelaku atas pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan sebelumnya.

Belajar dari Pengalaman

Tuntutan aktivis Papua soal transparansi terkait proses hukum anggota TNI bukan tanpa alasan. Penyelesaian kasus-kasus yang menimpa anggota TNI sebelumnya, dinilai tidak memenuhi rasa keadilan bagi korban.

Papua dan Kasus HAM Berat Disorot Komite PBB
mohon tunggu

No media source currently available

0:00 0:03:17 0:00

Gobay menjelaskan, pasukan TNI yang diduga melakukan kekerasan tersebut datang ke Papua dalam kerangka Operasi Damai Cartenz.

“Memang menurut informasi, mereka dikirim dengan tujuan untuk melaksanakan operasi keamanan perbatasan. Tapi kalau kemudian dilihat dari wilayahnya, itu masuk dalam salah satu wilayah yang menjadi target Operasi Damai Cartenz,” kata Gobay.

Operasi tersebut merupakan kelanjutan dari Operasi Nemangkawi. Gobay mengatakan, dalam operasi-operasi sebelumnya, terjadi juga pelanggaran hukum yang dilakukan oknum anggota TNI, tetapi proses hukumnya tidak jelas. Karena tidak pernah diberikan proses hukum yang pasti, celah ini menjadi ruang impunitas bagi anggota TNI. Karena itulah, aksi kekerasan terus berulang, kemungkinan karena adanya keyakinan terkait tidak adanya penindakan hukum atau jaminan dari atasannya.

“Karena tujuan dari hukum pidana itu efek jera. Karena proses penegakan hukum pidana itu tidak ada, yang pasti tidak ada efek jera. Sehingga pelakunya terus melakukan, baik beda orang, maupun orang yang sama,” lanjut Gobay.

Latifah Anum Siregar juga menggarisbawahi kekhawatiran semacam itu. AlDP mendesak agar komandan kesatuan Yonif Raider 300/Braja Wijaya yang anggotanya diduga melakukan aksi penyiksaan tersebut, tidak menggunakan alasan tertentu, untuk memindahkan persidangannya ke pengadilan militer pada kesatuan asal.

Tiga jenazah prajurit TNI korban penembakan gerombolan bersenjata diterbangkan ke kampung halaman masing-masing dari Mimika, Papua. (Courtesy: Pendam XVII/Cenderawasih, Papua).
Tiga jenazah prajurit TNI korban penembakan gerombolan bersenjata diterbangkan ke kampung halaman masing-masing dari Mimika, Papua. (Courtesy: Pendam XVII/Cenderawasih, Papua).

“Ini berkaca pada beberapa kasus di Pengadilan Militer Jayapura, yang kemudian komandannya meminta kasusnya dipindahkan ke daerah asal kesatuan. Dan kita tidak mendapatkan cukup informasi, apakah proses sidang itu jalan? Apakah ada putusan terhadap mereka? Apakah putusan itu benar-benar dilaksanakan?” ujar Anum.

Anum menguraikan catatan panjang AlDP terkait kasus-kasus semacam ini. Dia memberi contoh, pembunuhan terhadap ketua Presidium Dewan Papua (PDP) Theys Hiyo Eluay pada 10 November 2001. Awalnya, Kopasus menyatakan tidak terlibat. Namun, penyelidikan oleh pihak Polda Papua, membuktikan bahwa penculikan dan pembunuhan Theys Hiyo Eluay adalah hasil permufakatan jahat dari anggota Kopasus Tribuana.

AlDP mencatat, para pelaku pembunuhan Theys Hiyo Eluay diadili di peradilan militer, namun setelah itu karier militer mereja justru melejit.

“Bahkan komandannya mendapatkan pangkat Jenderal dan mendapatkan jabatan strategis di institusi militer,” ujarnya.

Masih menurut catatan AlDP, pada 2020 di Intan Jaya terjadi kasus pembunuhan Pendeta Yeremias Zanambani. Awalnya TNI menyangkal keterlibatan anggota mereka, tetapi kemudian setelah ada investigasi dari Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) yang dibentuk pemerintah, terungkap adanya dugaan keterlibatan anggota TNI dalam peristiwa itu.

Rangkaian lainnya adalah kasus hilangnya Luther Zanambani dan Apinus Zanambani yang ditahan di Koramil Sugapa pada 21 April 2020, keduanya dibunuh dan mayatnya dibakar. Kuat dugaan ada keterlibatan Kotis Yonif PR 433 JS Kostrad. Demikian juga kasus penembakan Gembala Gereja Katolik di sekitar Bandara Sugapa pada 7 Oktober 2020.

AlDP menyatakan, pada dokumen putusan di Mahmil-19 Jayapura, para pelaku yang diduga terlibat pada rangkaian peristiwa di Intan Jaya, mangkir. Misalnya persidangan terhadap prajurit dari Kodim 1418/Mamuju,Topdam IX/Udayana dan KIKAV 6/RBT yang ditempatkan pada Kodim Persiapan Paniai 3 dan 4 prajurit dari Yonif Raider 400/BR.

Juga 4 anggota TNI Yonif Pararider 433 JS Kostrad yang diduga terlibat dalam pembunuhan dan pembakaran jasad Luther Zanambani dan Apinus Zanambani. Komandan dari kesatuan masing-masing mengirim surat ke Mahmil-19 Jayapura, meminta persidangan dipindahkan ke tempat asal kesatuan di luar Papua.

Empat anggota TNI menjalani sidang di Pengadilan Militer III-19 Jayapura. (Foto: Gustav K)
Empat anggota TNI menjalani sidang di Pengadilan Militer III-19 Jayapura. (Foto: Gustav K)

“Kita juga mencatat kasus Eden Babari dan Ronny Wandik ditembak oleh anggota TNI Yonif 712/900 dari Satuan Tugas Pinang Siri di Mile 34, Kabupaten Mimika, Provinsi Papua Tengah pada 13 April 2020, hingga meninggal dunia. Pengadilan Militer III-14 Denpasar menyidangkan 2 Terdakwa yakni sersan Satu Vicente De Oliviera, dan Prajurit Kepala Bahari. Namun diputus bebas dari tuntutan hukum,” papar Anum.

Dua terdakwa lain disidangkan di peradilan militer Manado, diputus 7 tahun dan 6 tahun penjara dan hukuman tambahan dipecat dari kesatuannya. Di tingkat kasasi, vonisnya ringan menjadi 2 tahun dan 1 tahun 6 bulan, hukuman tambahan dipecat dari kesatuan, namun hukuman itu ditiadakan.

Banyak Anggota TNI Terbunuh

Dalam keterangan resmi di Jakarta, Kepala Pusat Penerangan (Kapuspen) TNI Mayjen TNI Nugraha Gumilar menegaskan komitmen mereka atas penanganan kasus ini.

“Kami hadir sebagai bukti komitmen dan keseriusan TNI terhadap masalah ini,” kata dia.

Aktivis: Persidangan Anggota TNI Pelaku Kekerasan Sadis Harus di Papua
mohon tunggu

No media source currently available

0:00 0:03:31 0:00

Pangdam XVII/Cendrawasih, Mayjen TNI Izak Pangemanan, memaparkan kondisi di Papua yang tidak menentu dan tindakan Kelompok Kriminal Bersenjata yang semakin brutal. Bentuknya adalah pembunuhan dan pembakaran terhadap rumah warga dan fasilitas umum.

“Di tahun 2023 sebanyak 61 orang dibunuh, TNI 26 orang, Polri 3 orang dan warga sipil 32 orang, KKB juga membakar 4 unit sekolah, 1 unit Puskesmas dan 18 rumah warga masyarakat. Sedangkan di tahun 2024, KKB sudah membunuh 7 orang, TNI 2 orang, Polri 3 orang dan warga sipil 2 orang. KKB juga membakar 7 kantor pemerintah,” kata Pangdam.

Pangdam menjanjikan operasi di Papua akan selalu menghindari kekerasan. Penanganan konflik Papua diupayakan sesuai dengan harapan masyarakat Papua, dan berstandar internasional.

“Setiap permasalahan, kami berusaha selesaikan dengan baik, menghindari terjadinya pertumpahan darah, menghindari terjadinya korban-korban yang tidak perlu,” tambah dia. [ns/ka]

Forum

Recommended

XS
SM
MD
LG