JAKARTA —
Dimasukkannya kembali pasal penghinan terhadap Presiden dan Wakil Presiden dalam Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana atau KUHP baru yang sebentar lagi akan dibahas di DPR, mendapat protes dari aktivis hak asasi manusia.
Pencantuman kembali tersebut dianggap cacat hukum sebab pasal serupa sudah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi pada 2006, karena dinilai inkonstitusional dan bertentangan dengan pasal kebebasan menyatakan pendapat dan berekspresi dalam Undang-Undang Dasar 1945.
Namun dalam rancangan KUHP yang disusun pemerintah, Pasal 265 menyatakan bahwa orang-orang yang terbukti menghina presiden dan wakil presiden di depan umum akan diancam sanksi pidana lima tahun penjara dan denda maksimal Rp 300 juta.
Wahyudi Djaffar dari lembaga studi dan advokasi masyarakat ELSAM mengatakan hal tersebut merupakan langkah mundur bagi demokrasi dan penghormatan atas hak asasi manusia di Indonesia.
“Ketika Mahkamah Konstitusi membatalkan pasal penghinaan terhadap Presiden, itu pencapaian luar biasa bagi demokrasi dan hak asasi manusia terkait kebebasan berekspresi setelah sekian puluh tahun merdeka,” ujarnya pada Selasa (12/3).
“Tapi sekarang kita kembali lagi dalam suasana kolonial dan tidak demokratis ketika kebebasan berpendapat yang berkaitan dengan penguasa justru akan dipindana. Padahal sudah jelas resolusi Dewan HAM PBB menyatakan tindakan itu tidak aktual lagi jika diberikan hukuman pidana. Sejumlah negara justru sudah mencabut pasal-pasal ini. Kenapa Indonesia justru ingin lebih represif.”
Wahyudi menambahkan, meski sanksi hukum yang diatur dalam revisi KUHP ini akan lebih ringan, namun hal itu menurutnya tidak mengurangi dampak buruk jika pasal penghinaan bagi orang nomor satu di republik ini kembali diberlakukan.
“Tindakan-tindakan yang dianggap bagian dari defamasi tidak kontekstual lagi ketika diberikan hukuman pidana. Sejumlah negara justru sudah mencabut pasal-pasal penghinaan ini. Inggris yang merupakan salah satu negara tertua dengan pasal defamasi pun sudah mencabutnya. Kenapa kemudian Indonesia justru ingin lebih represif dalam konteks penerapan pasal ini,” ujarnya.
Sementara itu, pakar hukum pidana dari Universitas Islam Indonesia Yogyakarta, Muzakir, yang menjadi anggota tim penyusun rancangan KUHP yang diajukan pemerintah mengatakan pencantuman kembali pasal itu tidak perlu dikhawatirkan,karena dalam KUHP baru menyebutkan definisi penghinaan yang lebih tegas. Sebagai tokoh penting dalam negara, Presiden dan Wakil Presiden harus mendapat penghormatan, ujarnya.
“Bagaimana Presiden Republik Indonesia tidak dilindungi kehormatannya oleh KUHP sementara dalam pasal yang lain presiden negara sahabat yang berkunjung ke Indonesia dilindungi kehormatannya. Nah, ini yang menjadi tidak adil,” ujarnya.
“Di dalam pasal itu nanti kita berusaha mempertegas agar supaya interpretasi pasal ini menghinanya bukan kepada mengkritiknya. Saya kira itu saja kalau Mahkamah Agung terutama yang mengawal Undang-undang itu harus menginterpretasi melalui yurispudensi bahwa menghina adalah menghina, mengkritik adalah mengkritik. Dua-duanya tidak boleh digabung jadi satu, saya kira tidak menjadi masalah itu.”
Pasal penghinaan hanyalah satu dari sejumlah pasal yang menuai polemik dalam rancangan KUHP baru. Kondisi ini disayangkan banyak kalangan, mengingat rancangan KUHP baru ini sudah bertahun-tahun digodok pemerintah. Polemik ini dipastikan akan mengundang perdebatan seru di DPR yang akan mulai membahas rancangan KUHP ini tanggal 18 Maret mendatang.
Rancangan KUHP baru ini diterbitkan untuk menggantikan KUHP lama yang berlaku saat ini yang dinilai sudah sangat kadaluarsa, karena disusun dan diberlakukan oleh pemerintah kolonial Belanda sejak 1830. KUHP tersebut mengadopsi langsung KUHP nasional Belanda yang diberlakukan secara nasional di negeri kincir angin itu pada 1918.
Pencantuman kembali tersebut dianggap cacat hukum sebab pasal serupa sudah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi pada 2006, karena dinilai inkonstitusional dan bertentangan dengan pasal kebebasan menyatakan pendapat dan berekspresi dalam Undang-Undang Dasar 1945.
Namun dalam rancangan KUHP yang disusun pemerintah, Pasal 265 menyatakan bahwa orang-orang yang terbukti menghina presiden dan wakil presiden di depan umum akan diancam sanksi pidana lima tahun penjara dan denda maksimal Rp 300 juta.
Wahyudi Djaffar dari lembaga studi dan advokasi masyarakat ELSAM mengatakan hal tersebut merupakan langkah mundur bagi demokrasi dan penghormatan atas hak asasi manusia di Indonesia.
“Ketika Mahkamah Konstitusi membatalkan pasal penghinaan terhadap Presiden, itu pencapaian luar biasa bagi demokrasi dan hak asasi manusia terkait kebebasan berekspresi setelah sekian puluh tahun merdeka,” ujarnya pada Selasa (12/3).
“Tapi sekarang kita kembali lagi dalam suasana kolonial dan tidak demokratis ketika kebebasan berpendapat yang berkaitan dengan penguasa justru akan dipindana. Padahal sudah jelas resolusi Dewan HAM PBB menyatakan tindakan itu tidak aktual lagi jika diberikan hukuman pidana. Sejumlah negara justru sudah mencabut pasal-pasal ini. Kenapa Indonesia justru ingin lebih represif.”
Wahyudi menambahkan, meski sanksi hukum yang diatur dalam revisi KUHP ini akan lebih ringan, namun hal itu menurutnya tidak mengurangi dampak buruk jika pasal penghinaan bagi orang nomor satu di republik ini kembali diberlakukan.
“Tindakan-tindakan yang dianggap bagian dari defamasi tidak kontekstual lagi ketika diberikan hukuman pidana. Sejumlah negara justru sudah mencabut pasal-pasal penghinaan ini. Inggris yang merupakan salah satu negara tertua dengan pasal defamasi pun sudah mencabutnya. Kenapa kemudian Indonesia justru ingin lebih represif dalam konteks penerapan pasal ini,” ujarnya.
Sementara itu, pakar hukum pidana dari Universitas Islam Indonesia Yogyakarta, Muzakir, yang menjadi anggota tim penyusun rancangan KUHP yang diajukan pemerintah mengatakan pencantuman kembali pasal itu tidak perlu dikhawatirkan,karena dalam KUHP baru menyebutkan definisi penghinaan yang lebih tegas. Sebagai tokoh penting dalam negara, Presiden dan Wakil Presiden harus mendapat penghormatan, ujarnya.
“Bagaimana Presiden Republik Indonesia tidak dilindungi kehormatannya oleh KUHP sementara dalam pasal yang lain presiden negara sahabat yang berkunjung ke Indonesia dilindungi kehormatannya. Nah, ini yang menjadi tidak adil,” ujarnya.
“Di dalam pasal itu nanti kita berusaha mempertegas agar supaya interpretasi pasal ini menghinanya bukan kepada mengkritiknya. Saya kira itu saja kalau Mahkamah Agung terutama yang mengawal Undang-undang itu harus menginterpretasi melalui yurispudensi bahwa menghina adalah menghina, mengkritik adalah mengkritik. Dua-duanya tidak boleh digabung jadi satu, saya kira tidak menjadi masalah itu.”
Pasal penghinaan hanyalah satu dari sejumlah pasal yang menuai polemik dalam rancangan KUHP baru. Kondisi ini disayangkan banyak kalangan, mengingat rancangan KUHP baru ini sudah bertahun-tahun digodok pemerintah. Polemik ini dipastikan akan mengundang perdebatan seru di DPR yang akan mulai membahas rancangan KUHP ini tanggal 18 Maret mendatang.
Rancangan KUHP baru ini diterbitkan untuk menggantikan KUHP lama yang berlaku saat ini yang dinilai sudah sangat kadaluarsa, karena disusun dan diberlakukan oleh pemerintah kolonial Belanda sejak 1830. KUHP tersebut mengadopsi langsung KUHP nasional Belanda yang diberlakukan secara nasional di negeri kincir angin itu pada 1918.