JAKARTA —
KUHP, warisan zaman kolonial Belanda, sudah lama perlu direvisi. Kelompok-kelompok masyarakat sudah berkampanye selama bertahun-tahun untuk mengubah KUHP termasuk perubahan untuk mengakui secara resmi hak azasi (HAM).
Tetapi beberapa orang menilai perubahan yang diusulkan pemerintah - termasuk lima tahun hukuman penjara bagi pezina yang terbukti bersalah; penyihir dan dukun – justru membuat Indonesia kembali ke abad pertengahan, bukan menjadi modern.
Febionista adalah direktur Lembaga Bantuan Hukum Jakarta. Ia mengatakan perubahan itu tidak hanya akan sulit diterapkan tetapi juga bertentangan dengan komitmen internasional pemerintah bagi HAM.
"Ini akan menjadi kontraproduktif dengan komitmen pemerintah untuk menegakkan HAM. Perubahan yang diusulkan negara mengenai perzinahan dan ilmu hitam, dipengaruhi kegagalan ajaran moral, terutama agama-agama tertentu. Ini tidak bisa serta merta diterapkan jika tidak berlaku universal,” kata Febionista.
Walau dikecam, pejabat-pejabat Kementerian Hukum dan HAM yang merancang perubahan itu membelanya dengan mengatakan perubahan diperlukan guna mengekang pelanggaran seperti perzinahan.
Tetapi, menurut Febionista, itu juga menunjukkan bagaimana Islam semakin berperan dalam politik Indonesia. Ia memperingatkan undang-undang yang lebih puritan mungkin akan disahkan di masa depan.
Ia juga menunjuk undang-undang penghujatan dan pencemaran nama baik dalam usul KUHP yang baru, yang menurutnya bisa membahayakan kebebasan berekspresi. Masuknya undang-undang tentang ilmu hitam, ia nilai, bisa bercampur-aduk dengan praktek-praktek kepercayaan tradisional.
Jaringan masyarakat madani memperkirakan rencana itu akan menuai perdebatan hebat dalam masyarakat.
Zainal Abidin dari Indonesian Institute for Policy Research and Advocacy, setuju KUHP harus direvisi tetapi tidak sekarang.
"Lebih baik membahasnya setelah Pemilu dengan anggota DPR dan pemerintah yang baru. Mudah-mudahan kita akan memiliki pemerintahan yang baik, kuat dan mengerti HAM,” kata Zainal Abidin.
KUHP terakhir kali direvisi 49 tahun lalu.
Rencana untuk membahas revisi itu akan dimulai 18 Maret, tetapi mungkin tidak akan disahkan sebelum Pemilu mendatang.
Tetapi beberapa orang menilai perubahan yang diusulkan pemerintah - termasuk lima tahun hukuman penjara bagi pezina yang terbukti bersalah; penyihir dan dukun – justru membuat Indonesia kembali ke abad pertengahan, bukan menjadi modern.
Febionista adalah direktur Lembaga Bantuan Hukum Jakarta. Ia mengatakan perubahan itu tidak hanya akan sulit diterapkan tetapi juga bertentangan dengan komitmen internasional pemerintah bagi HAM.
"Ini akan menjadi kontraproduktif dengan komitmen pemerintah untuk menegakkan HAM. Perubahan yang diusulkan negara mengenai perzinahan dan ilmu hitam, dipengaruhi kegagalan ajaran moral, terutama agama-agama tertentu. Ini tidak bisa serta merta diterapkan jika tidak berlaku universal,” kata Febionista.
Walau dikecam, pejabat-pejabat Kementerian Hukum dan HAM yang merancang perubahan itu membelanya dengan mengatakan perubahan diperlukan guna mengekang pelanggaran seperti perzinahan.
Tetapi, menurut Febionista, itu juga menunjukkan bagaimana Islam semakin berperan dalam politik Indonesia. Ia memperingatkan undang-undang yang lebih puritan mungkin akan disahkan di masa depan.
Ia juga menunjuk undang-undang penghujatan dan pencemaran nama baik dalam usul KUHP yang baru, yang menurutnya bisa membahayakan kebebasan berekspresi. Masuknya undang-undang tentang ilmu hitam, ia nilai, bisa bercampur-aduk dengan praktek-praktek kepercayaan tradisional.
Jaringan masyarakat madani memperkirakan rencana itu akan menuai perdebatan hebat dalam masyarakat.
Zainal Abidin dari Indonesian Institute for Policy Research and Advocacy, setuju KUHP harus direvisi tetapi tidak sekarang.
"Lebih baik membahasnya setelah Pemilu dengan anggota DPR dan pemerintah yang baru. Mudah-mudahan kita akan memiliki pemerintahan yang baik, kuat dan mengerti HAM,” kata Zainal Abidin.
KUHP terakhir kali direvisi 49 tahun lalu.
Rencana untuk membahas revisi itu akan dimulai 18 Maret, tetapi mungkin tidak akan disahkan sebelum Pemilu mendatang.