Sekelompok pakar independen PBB mengimbau Pemerintah Indonesia agar melakukan beberapa perubahan pada RUU tersebut. Leonard Triyono mewawancarai Maina Kiai, pakar HAM dari Kenya yang ditunjuk PBB menjadi salah seorang Pelapor Khusus terkait RUU tersebut.
Setelah mengevaluasi RUU Organisasi Masyarakat (Ormas) di Indonesia sebagai tindak lanjut keluhan-keluhan dari berbagai kalangan di Indonesia, Maina Kiai, mengatakan pemerintah Indonesia hendaknya memastikan bahwa setiap pembatasan terhadap hak kebebasan berserikat, berekspresi, dan beragama dalam masyarakat demokratis tidak merusak prinsip-prinsip pluralisme, toleransi serta keterbukaan wawasan yang luas.
“Kami mengangkat isu itu untuk memastikan bahwa pemerintah dan rakyat Indonesia menyadari bahwa setiap undang-undang mengenai HAM harus memenuhi standar internasional yang telah diratifikasi oleh pemerintah Indonesia,” ujar Maina Kiai.
Sebagai contoh, Kiai menunjuk pada kemungkinan munculnya masalah dengan pasal dalam RUU itu yang menetapkan bahwa tujuan setiap ormas tidak boleh bertentangan dengan Pancasila – falsafah resmi Indonesia yang hanya mengakui kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan bahwa setiap organisasi berkewajiban memelihara nilai-nilai agama.
Kiai menyatakan keprihatinan mengenai hak atas kebebasan beragama, seperti juga disampaikan oleh Pelapor PBB lainnya yang khusus mengamati pasal-pasal yang mengatur kebebasan beragama.
Maina Kiai menambahkan, “Ini juga menjadi keprihatinan kolega saya, Pelapor Khusus bidang kebebasan beragama, yakni mengenai pasal yang menyatakan bahwa tujuan organisasi tidak boleh bertentangan dengan Pancasila. Dengan demikian ada pembatasan atas kebebasan agama dan kepercayaan, sebab orang punya hak untuk tidak percaya pada satu Tuhan saja. Mereka boleh ateis. Itu boleh-boleh saja.”
Kiai mengatakan, misalnya, jika ada organisasi yang tidak menganut kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, atau bahkan berpaham ateis, maka hal itu seharusnya tidak dianggap ilegal. Menurutnya kebebasan beragama juga berarti kebebasan untuk tidak memeluk agama. Oleh karena itu Dr. Kiai berpendapat RUU tersebut melanggar kebebasan beragama karena kebebasan itu juga berlaku bagi keyakinan-keyakinan lain.
“Kebebasan beragama mencakup kepercayaan non-teistik dan ateistik. Itu merupakan kepercayaan. Jadi, jika Anda membuat undang-undang yang misalnya menyatakan ateisme melanggar hukum, maka Anda sesungguhnya melanggar hukum internasional,” papar Maina Kiai.
Kiai mengatakan RUU itu jika disahkan bisa dikatakan merupakan langkah mundur dari kemajuan signifikan ke arah demokratisasi yang telah dicapai oleh Indonesia selama ini, yang telah melapangkan jalan bagi berkembangnya masyarakat madani.
Menurutnya ada beberapa keprihatinan lain terkait RUU Ormas itu, dan salah satunya adalah bahasa samar-samar tentang pembatasan dan larangan kegiatan organisasi yang dianggap membahayakan keutuhan dan kesatuan Republik Indonesia. “Kegiatan setiap organisasi harus bebas dari campur tangan pemerintah,” demikian ujarnya.
“Rumusan pasal semacam ini tidak sah dan harus diubah, dan setiap asosiasi harus bebas menentukan AD/ART, struktur dan kegiatan, serta membuat keputusannya sendiri tanpa campur tangan pemerintah. Pemerintah tidak boleh terlibat dalam bagaimana organisasi beroperasi asalkan organisasi bersangkutan memenuhi mandat dan ketentuan hukum internasional," kata Kiai.
Jika RUU tersebut disahkan, pemerintah akan dapat mengawasi tata laksana organisasi dan membatalkan izin operasinya tanpa harus melalui surat perintah pengadilan. Kiai mengatakan, penangguhan atau pencabutan izin operasi suatu ormas seharusnya melalui proses pengadilan yang tidak memihak dan independen.
Kiai juga menyatakan kegembiraannya atas penundaan pembahasan RUU Ormas di Indonesia. Dia mengatakan bahwa dia dan para Pelapor Khusus PBB lainnya siap memberikan bantuan teknis kepada Indonesia untuk memastikan RUU itu memenuhi standar hukum internasional.
Setelah mengevaluasi RUU Organisasi Masyarakat (Ormas) di Indonesia sebagai tindak lanjut keluhan-keluhan dari berbagai kalangan di Indonesia, Maina Kiai, mengatakan pemerintah Indonesia hendaknya memastikan bahwa setiap pembatasan terhadap hak kebebasan berserikat, berekspresi, dan beragama dalam masyarakat demokratis tidak merusak prinsip-prinsip pluralisme, toleransi serta keterbukaan wawasan yang luas.
“Kami mengangkat isu itu untuk memastikan bahwa pemerintah dan rakyat Indonesia menyadari bahwa setiap undang-undang mengenai HAM harus memenuhi standar internasional yang telah diratifikasi oleh pemerintah Indonesia,” ujar Maina Kiai.
Sebagai contoh, Kiai menunjuk pada kemungkinan munculnya masalah dengan pasal dalam RUU itu yang menetapkan bahwa tujuan setiap ormas tidak boleh bertentangan dengan Pancasila – falsafah resmi Indonesia yang hanya mengakui kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan bahwa setiap organisasi berkewajiban memelihara nilai-nilai agama.
Kiai menyatakan keprihatinan mengenai hak atas kebebasan beragama, seperti juga disampaikan oleh Pelapor PBB lainnya yang khusus mengamati pasal-pasal yang mengatur kebebasan beragama.
Maina Kiai menambahkan, “Ini juga menjadi keprihatinan kolega saya, Pelapor Khusus bidang kebebasan beragama, yakni mengenai pasal yang menyatakan bahwa tujuan organisasi tidak boleh bertentangan dengan Pancasila. Dengan demikian ada pembatasan atas kebebasan agama dan kepercayaan, sebab orang punya hak untuk tidak percaya pada satu Tuhan saja. Mereka boleh ateis. Itu boleh-boleh saja.”
Kiai mengatakan, misalnya, jika ada organisasi yang tidak menganut kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, atau bahkan berpaham ateis, maka hal itu seharusnya tidak dianggap ilegal. Menurutnya kebebasan beragama juga berarti kebebasan untuk tidak memeluk agama. Oleh karena itu Dr. Kiai berpendapat RUU tersebut melanggar kebebasan beragama karena kebebasan itu juga berlaku bagi keyakinan-keyakinan lain.
“Kebebasan beragama mencakup kepercayaan non-teistik dan ateistik. Itu merupakan kepercayaan. Jadi, jika Anda membuat undang-undang yang misalnya menyatakan ateisme melanggar hukum, maka Anda sesungguhnya melanggar hukum internasional,” papar Maina Kiai.
Kiai mengatakan RUU itu jika disahkan bisa dikatakan merupakan langkah mundur dari kemajuan signifikan ke arah demokratisasi yang telah dicapai oleh Indonesia selama ini, yang telah melapangkan jalan bagi berkembangnya masyarakat madani.
Menurutnya ada beberapa keprihatinan lain terkait RUU Ormas itu, dan salah satunya adalah bahasa samar-samar tentang pembatasan dan larangan kegiatan organisasi yang dianggap membahayakan keutuhan dan kesatuan Republik Indonesia. “Kegiatan setiap organisasi harus bebas dari campur tangan pemerintah,” demikian ujarnya.
“Rumusan pasal semacam ini tidak sah dan harus diubah, dan setiap asosiasi harus bebas menentukan AD/ART, struktur dan kegiatan, serta membuat keputusannya sendiri tanpa campur tangan pemerintah. Pemerintah tidak boleh terlibat dalam bagaimana organisasi beroperasi asalkan organisasi bersangkutan memenuhi mandat dan ketentuan hukum internasional," kata Kiai.
Jika RUU tersebut disahkan, pemerintah akan dapat mengawasi tata laksana organisasi dan membatalkan izin operasinya tanpa harus melalui surat perintah pengadilan. Kiai mengatakan, penangguhan atau pencabutan izin operasi suatu ormas seharusnya melalui proses pengadilan yang tidak memihak dan independen.
Kiai juga menyatakan kegembiraannya atas penundaan pembahasan RUU Ormas di Indonesia. Dia mengatakan bahwa dia dan para Pelapor Khusus PBB lainnya siap memberikan bantuan teknis kepada Indonesia untuk memastikan RUU itu memenuhi standar hukum internasional.