Dengan Joe Biden kini menjadi presiden, Amerika harus mengupayakan kepercayaan dunia dan menegaskan kembali komitmennya pada usaha mengatasi perubahan iklim.
Yuyun Harmono adalah Koordinator Kampanye Keadilan Iklim dan Isu Global di Wahana Lingkungan Hidup Indonesia atau WALHI. Dia menyambut baik kembalinya Amerika ke Paris Accord.
"Tentu ini perubahan yang baik ya. Dengan Amerika kembali lagi ke Paris agreement, itu akan mempercepat upaya global dalam mengatasi perubahan iklim itu. Juga, itu mengindikasikan Amerika harus dituntut tanggung jawab lebih dalam upaya itu." kata Yuyun.
Presiden Biden berjanji akan menghilangkan emisi karbon dioksida dari sektor energi Amerika pada 2035 dan menciptakan ekonomi bersih emisi 100 persen pada 2050. Tetapi itu saja belum cukup, karena Amerika harus bisa melibatkan seluruh dunia secara bermakna dalam melawan perubahan iklim.
Menanggapi itu, Nick Loris bersikap skeptis. Ketika diwawancarai VOA, peneliti kebijakan energi dan lingkungan dan deputi direktur di Roe's Institute di Heritage Foundation ini mengatakan, "Saya rasa keprihatinan orang yang khawatir akan persetujuan ini adalah caranya ini disusun, sifatnya sukarela, tidak mengikat, dan tidak ada konsekuensi kalau sasaran emisi tidak tercapai."
Perjanjian Paris yang bersejarah itu dicapai pada 2015 dan ditandatangani oleh hampir setiap negara di dunia. Tujuan utamanya adalah mempertahankan pemanasan global 2 derajat Celsius di atas suhu pada masa pra-industri. Untuk mencapai sasaran itu, emisi karbon dioksida harus diturunkan 7 persen setiap tahun sampai 2030.
Yuyun Harmono dari WALHI mengatakan, sasaran itu tidak cukup ambisius.
"Laporan dari panel ahli antar pemerintah IPCC, mereka bilang harusnya targetnya tidak lagi 2 derajat, tetapi target yang ambisius supaya tidak terjadi bencana iklim. Ke depannya harus 1,5 derajat gitu. Karena perbedaan 0,5 derajat Celsius, itu saja sudah sangat berbahaya bagi keberlanjutan ekosistem dan juga masyarakat yang tinggal di pesisir dan pulau-pulau kecil, terutama Indonesia," ujarnya.
Yuyun menambahkan, untuk mencapai target itu perlu usaha yang luar biasa besar dan WALHI mengharapkan Amerika mau meningkatkan usaha penurunan emisinya.
Presiden Biden berjanji pemerintahnya akan mengusahakan perubahan infrastruktur Amerika menjadi lebih ramah lingkungan, mulai dari pembangunan jaringan electric vehicles charging stations EVCS, atau stasiun pengisian daya kendaraan listrik, sampai transformasi rumah-rumah tinggal dan gedung-gedung kantor menjadi lebih efisien energi.
Tetapi Nick Loris dari Heritage Foundation mengatakan, mengandalkan pemerintah bagi usaha yang besar ini tidaklah bijaksana.
"Saya rasa mekanisme untuk mengupayakan pengurangan emisi, sementara juga menggalakkan sebuah model pertumbuhan ekonomi lewat berbagai mandat, regulasi, dan subsidi tidaklah tepat. Hal ini harus dicapai lewat unsur-unsur pasar dan penghapusan perintang inovasi dan investasi," katanya.
Nick Loris mengingatkan Amerika harus belajar dari pengalaman sebelumnya di mana penurunan emisi terselenggara berkat boom atau peningkatan besar-besaran eksplorasi minyak shale dan langkah mengganti peran batubara dengan gas alam.
Amerika harus menerapkan pola itu pada energi terbarukan, teknologi baterai yang baru, dan energi nuklir. Biden berencana mengalokasikan $2 triliun untuk usaha melawan pemanasan bumi, tetapi dia masih harus merundingkan prakarsa raksasa ini dengan Kongres. [jm/ka]