Setelah Indonesia lepas dari Dana Moneter Internasional atau IMF, kini Indonesia dapat mengajukan pinjaman ke Asean Plus Three Macroeconomic Research Office atau AMRO. Lembaga tersebut dibentuk oleh negara-negara Asean ditambah tiga negara lain yaitu Jepang, Tiongkok dan Korea Selatan.
Namun, menurut ekonom dari Indonesia Corruption Watch atau ICW, Yanuar Rizky, seharusnya Indonesia tidak bergantung pada lembaga kreditur manapun.
Dibentuknya AMRO menurut Yanuar Rizky tidak banyak berbeda dengan fungsi IMF. Ia berharap lembaga kreditur apapun termasuk AMRO tidak memanfaatkan kebutuhan negara-negara berkembang termasuk Indonesia karena kemungkinan suatu saat mengajukan pinjama kepada AMRO.
Yanuar mengatakan, “asal jangan AMRO atau IMF ini bagian yang juga menyebabkan justru kita berkontraksi agar kita mengambil pinjaman, itu yang nggak bisa, kegagalan IMF kan karena dominasi US dollar yang luar biasa ya sehingga akhirnya IMF menjadi bagian dari persoalan, harus dalam posisi seimbang lambaga kayak gini, harus benar-benar posisinya independen, menjaga, bukan fungsi dia sebagai krediturnya yang lebih menonjol, jadi sebagai lembaga otoritas moneternya yang harus lebih menonjol, kemudian kepentingan antar negara-negaranya juga harus seimbang, tidak ada negara yang akhirnya dominan.”
Yanuar Rizky juga mengingatkan fundamental Indonesia cukup kuat namun diperlukan berbagai upaya agar tetap kuat sehingga tidak membutuhkan pinjaman.
“kalau untuk tidak mengambil lagi ya kita harus melakukan pendisiplinan pasar, struktur devisa kita harus berkualitas, dimanapun mau ada AMRO, mau ada IMF kembali pendisiplinan pasar, penegakan hukum, kemudian pengawasan, itu datangnya dari kita sendiri jangan sampai kita menyerap uang moneter itu,” ujarnya.
Akibat krisis ekonomi di Indonesia tahun 1998 Indonesia mendapat pinjaman dari IMF agar ekonomi di dalam negeri stabil namun sejak tahun 2003 Indonesia sudah lepas dari IMF karena seluruh pinjaman sebesar 9 milyar dollar Amerika sudah dilunasi.
Saat Indonesia memiliki pinjaman kepada IMF, pemerintah terus mendapat kritik dari berbagai kalangan karena dinilai posisi Indonesia terus dirugikan akibat berbagai perjanjian dalam Lettef of Intent atau LoI yang ditetapkan IMF diantaranya intervensi IMF terhadap kinerja Badan Usaha Milik Negara atau BUMN.
Tidak seperti pinjaman luar negeri yang didapat dari lembaga multilateral atau bilateral antar negara yang bisa digunakan untuk berbagai kegiatan ekonomi sesuai perjanjian, pinjaman yang berasal dari IMF digunakan hanya untuk memperkuat cadangan devisa.
Dalam catatan anggaran negara 2011, Indonesia tahun ini membutuhkan pinjaman sekitar Rp 230 trilyun dan separuh dari jumlah tersebut merupakan pinjaman luar negeri. Hingga Januari 2011 posisi pinjaman Indonesia sekitar Rp 1.600 trilyun sehingga menurut Koordinator Koalisi Anti Utang (KAU), Danny Setiawan pemerintah harus segera menghentikan pinjaman kepada lembaga kreditur manapun karena akan menggerus anggaran negara.
Danny mengingatkan, “kalau pemerintah terus menerus mensosialisasikan kita masih sanggup melunasi utang, kita akan memenuhi kewajiban pembayaran utang, statement itu keliru.”