Tautan-tautan Akses

Asisten Biden Sebut Kemungkinan Peningkatan Penempatan Senjata Nuklir Strategis AS


Bendera AS berkibar di Capitol di Washington, Senin, 6 Februari 2023. (Foto: AP)
Bendera AS berkibar di Capitol di Washington, Senin, 6 Februari 2023. (Foto: AP)

Washington mungkin harus mengerahkan lebih banyak senjata nuklir strategis pada tahun-tahun mendatang untuk mencegah meningkatnya ancaman dari Rusia, China, dan musuh lainnya, kata seorang staf senior Gedung Putih pada Jumat (7/6).

Pranay Vaddi, pejabat pengendalian senjata teratas dari Dewan Keamanan Nasional, menyampaikan komentarnya dalam sebuah pidato tentang "pendekatan yang lebih kompetitif" terhadap pengendalian senjata. Pidato itu menguraikan pergeseran kebijakan yang bertujuan untuk mendorong Moskow dan Beijing agar memberi respons positif terhadap undangan AS untuk melakukan dialog pembatasan persenjataan.

“Jika tidak ada perubahan dalam persenjataan musuh, kita mungkin akan mencapai suatu titik di tahun-tahun mendatang di mana diperlukan peningkatan jumlah persenjataan yang dikerahkan saat ini. Kita harus sepenuhnya siap untuk melaksanakannya jika presiden mengambil keputusan itu,” katanya kepada Asosiasi Pengendalian Senjata.

“Jika hari itu tiba, hal ini akan menghasilkan tekad bahwa diperlukan lebih banyak senjata nuklir untuk menghalangi musuh-musuh kita dan melindungi rakyat Amerika serta sekutu dan mitra kita.”

AS saat ini menerapkan batasan 1.550 hulu ledak nuklir strategis yang ditetapkan dalam perjanjian New START 2010 dengan Rusia. Hal itu terjadi meskipun Moskow "menangguhkan" partisipasinya pada tahun lalu sebagai protes atas dukungan AS terhadap Ukraina. Langkah ini, menurut Washington, dianggap "tidak sah secara hukum."

Vaddi berbicara setahun setelah Penasihat Keamanan Nasional Jake Sullivan menyatakan kepada kelompok yang sama bahwa tidak perlu meningkatkan pengerahan senjata nuklir strategis AS untuk menghadapi persenjataan Rusia dan China. Sullivan menawarkan pembicaraan "tanpa prasyarat."

Pemerintah tetap berkomitmen terhadap rezim pengendalian senjata internasional dan non-proliferasi yang dirancang untuk mengekang penyebaran senjata nuklir, kata Vaddi.

Namun, katanya, Rusia, China, dan Korea Utara "semuanya memperluas dan mendiversifikasi persenjataan nuklir mereka dengan kecepatan yang sangat tinggi, menunjukkan sedikit atau bahkan tidak ada minat terhadap pengendalian senjata."

Ketiga negara dan Iran “semakin banyak bekerja sama dan berkoordinasi satu sama lain dalam cara-cara yang bertentangan dengan perdamaian dan stabilitas, mengancam Amerika Serikat, sekutu dan mitra kami serta memperburuk ketegangan di kawasan,” katanya.

Rusia, China, Iran, dan Korea Utara berbagi teknologi rudal dan drone yang canggih, kata Vaddi. Dia mengutip penggunaan drone Iran serta artileri dan rudal Korea Utara oleh Moskow di Ukraina, dan dukungan China terhadap industri pertahanan Rusia.

Pada Rabu, Presiden Rusia Vladimir Putin menyatakan bahwa ia memiliki kemampuan untuk menggunakan rudal konvensional untuk menargetkan AS dan sekutu-sekutunya di Eropa jika mereka membiarkan Ukraina melancarkan serangan lebih lanjut ke Rusia dengan bantuan senjata jarak jauh Barat. Namun, pada Jumat, ia mengklaim bahwa Rusia tidak perlu mengandalkan senjata nuklir untuk mencapai keberhasilan di Ukraina.

Menurut Vaddi, doktrin nuklir AS mengacu pada penggunaan senjata nuklir untuk mencegah serangan dari musuh, baik terhadap AS, sekutu, maupun mitra. Namun, AS tetap berkomitmen untuk menjaga transparansi mengenai kebijakan dan kekuatan nuklirnya, terutama dalam kaitannya dengan Inggris dan Prancis.

Namun jika musuh AS meningkatkan ketergantungannya pada senjata nuklir, “kita tidak punya pilihan selain menyesuaikan postur dan kemampuan kita untuk menjaga pencegahan dan stabilitas,” katanya.

Pemerintah mengambil “langkah-langkah bijaksana” untuk mencapai tujuan tersebut, termasuk memodernisasi persenjataan AS, katanya. [ah/ft]

Forum

XS
SM
MD
LG