Suriah menarik perhatian luas masyarakat internasional sejak awal April ini. Diawali dengan dugaan serangan senjata kimia ke Douma, daerah di pinggiran timur Suriah pada 7 April yang menewaskan sedikitnya 40 orang. Dilanjutkan saling tuding dan bantah antara Amerika, Rusia dan pemerintah Suriah tentang pelaku serangan itu, serangan udara Amerika-Inggris-Perancis terhadap fasilitas-fasilitas riset biologi dan kimia Suriah, ditolaknya rancangan resolusi Rusia supaya Amerika menghentikan serangan udara itu, dan masuknya tim Organisasi Pelarangan Senjata Kimia (OPCW) untuk memastikan pelaku serangan itu.
Perkembangan mengenai Suriah ini mendorong Duta Besar Amerika Serikat Joseph Donovan, Duta Besar Inggris Moazzam Malik, dan Duta Besar Prancis Jean-Charles Berthonnet menemui Menteri Luar Negeri Retno Marsudi di kantornya di Jakarta, Kamis (19/4). Dalam pertemuan tertutup selama sekitar satu jam itu, Retno Marsudi tidak memberikan keterangan pers kepada wartawan. Jumpa pers disampaikan ketiga duta besar itu seusai pertemuan.
Duta Besar Amerika Serikat untuk Indonesia Joseph Donovan mengatakan selama beberapa tahun terakhir Suriah selalu menggunakan senjata kimia terhadap warga negaranya sendiri berulangkali. Padahal menurutnya Suriah merupakan salah satu negara yang telah menyepakati Konvensi Senjata Kimia tahun 2013, dan sepakat menyerahkan semua senjata kimia yang dimilikinya. Konvensi ini dengan tegas melarang negara penandatangan untuk menggunakan senjata kimia.
"Tujuan pertemuan kami adalah untuk mendiskusikan tindakan berulang Suriah yang menggunakan senjata kimia kepada warga negara mereka sendiri, termasuk empat kasus berhasil diidentifikasi oleh OPCW (Organisasi buat Pelarangan Senbjata Kimia). Termasuk kejadian paling baru serangan senjata kimia terhadap warga sipil (di Duma) pada 7 April," ujar Donovan.
Donovan menambahkan tujuan serangan udara yang dilakukan terhadap tiga sasaran di Damaskus dan Homs Sabtu lalu (20/4) bertujuan melemahkan kapabilitas atau kemampuan senjata kimia Suriah, dan menimbulkan efek jera agar tidak menggunakan senjata kimia lagi. Donovan menegaskan Amerika dan sekutu-sekutunya sejatinya sudah mengambil langkah diplomasi untuk menghindari situasi tersebut.
Baca juga: Aksi Militer di Suriah Picu Perpecahan di Perancis dan Uni Eropa
Sementara Duta Besar Prancis untuk Indonesia Jean-Charles Berthonnet, mengatakan Amerika, Inggris, dan Prancis sebenarnya ingin bertindak sesuai Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa, tetapi enam rancangan resolusi PBB mengenai penggunaan senjata kimia oleh rezim Basyar al-Assad selalu diveto oleh Rusia.
"Jadi tidak ada jalan lain bagi kami selain untuk bertindak dan menyerang karena rezim Assad telah melanggar batas dengan menggunakan senjata kimia terhadap penduduknya sendiri, termasuk warga sipil. Tindakan ini sangat tidak bleh dibiarkan. Karena itulah, kami memutuskan untuk melakukan serangan," ungkap Berthonnet.
Dalam kesempatan yang sama Duta Besar Inggris untuk Indonesia Moazzam Malik menjelaskan masyarakat internasional hanya memilik dua pilihan: membiarkan senjata kimia tersebar luas dan digunakan atau menegakkan konvensi anti senjata kimia untuk mencegah siapa saja memakai senjata pemusnah massal tersebut. Moazzam menyambut baik sikap dan posisi pemerintah Indonesia menyikapi insiden Douma, namun berharap pemerintah Indonesia bisa bertindak lebih dari itu. Moazzam meminta Indonesia ikut bergabung dengan Amerika, Inggris, dan Perancis menekan rezim Basyar al-Assad dan sekutunya, Rusia, agar menghormati konvensi anti-senjata kimia.
Moazzam juga mengajak Indonesia untuk bersama-sama dengan negara lain buat menekan Suriah dan Rusia agar memberikan akses penuh bagi tim pencari fakta OPCW untuk melakukan investigasi di Duma. Meskipun menurutnya lokasi serangan senjata kimia telah dibersihkan oleh rezim Assad dan Suriah sehingga tim pencari fakta OPCW tidak menemukan bukti kuat apapun mengenai serangan gas beracun tersebut. Namun dia menambahkan mereka memiliki rekaman video, foto, dan keterangan para saksi yang membenarkan serangan senjata kimia di Suriah itu.
Ditemui dalam kesempatan terpisah, pengamat internasional di Universitas Padjajaran Bandung Teuku Rezasyah menilai serangan tesebut tidak sah karena mendahului proses konstitusional yang berlaku di Amerika Serikat, Inggris dan Perancis. Menurutnya, serangan ini juga telah menyalahi hukum internasional dan mekanisme penyelesaian krisis yang diatur dalam piagam PBB. Indonesia menurutnya harus mempunyai sikap yang tegas terkait hal ini, salah satunya dengan meminta PBB mengeluarkan resolusi yang mengecam serangan itu. Indonesia lanjutnya dapat mengajak negara-negara ASEAN, Organisasi Kerjasama Islam, Gerakan Non Blok. Ini dimaksudkan tambahnya agar di kemudian hari tidak terjadi lagi serangan serupa.
"Kita (Indonesia) kan negara yang menghargai hukum internasional. Kita negara yang mengedepankan etika dalam menyelesaikan krisis internasional. Tentunya Amerika Serika,Inggris dan Perancis sadar Indonesia memiliki nama baik di dunia sebagai negara yang tengah-tengah. Mereka sangat berharap Indonesia mengurangi kritiknya atas tiga negara tersebut, walaupun ini posisinya sulit untuk Indonesia karena kita sangat berharap menjadi anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB. Jadi dengan kehadiran duta besar ini kan sedikit banyaknya memberikan tekanan ke Indonesia bahwa mereka bisa menghalangi Indonesia (untuk) menjadi anggota tidak tetap DK PBB," tandas Reza.
Rezasyah berharap Indonesia tetap konsisten dengan sikapnya dan bersikukuh mengecam tindakan itu. [fw/em]