Sesuai namanya, Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) dibentuk untuk menjaga hubungan baik antar pemeluk agama di Indonesia. Namun beban tugas administratif yang menghinggapi terutama terkait masalah izin pendirian tempat ibadah membuat forum yang dibentuk pada 2006 ini tidak dapat menjalankan tugasnya dengan maksimal.
Masalah tersebut ditemukan dalam penelitian yang dilakukan oleh Pusat Studi Agama dan Demokrasi (PUSAD), Yayasan Paramadina di mana lembaga tersebut baru saja merampungkan penyusunan pangkalan data FKUB di Indonesia.
“FKUB level kabupaten dan kota, sebenarnya tugas intinya adalah memfasilitasi pembangunan rumah ibadah dan mengelola kerukunan secara luas. Tetapi energi dan waktunya banyak sekali habis untuk mengurusi tugas administrasi, seperti verifikasi persyaratan rumah ibadah dan lain sebagainya,” papar peneliti PUSAD Raditya Putranti Darningtyas.
Dalam proses pengumpulan data dan penelitian sejak 2018 hingga 2021, PUSAD Paramadina telah menyebarkan angket kepada FKUB di seluruh Indonesia. Hingga saat ini, sebanyak 331 FKUB dari 29 provinsi, 66 kota dan 236 kabupaten telah mengirim jawaban. Jumlah tersebut merupakan 60 persen dari total 548 FKUB yang terdapat di seluruh Indonesia.
Di samping itu, PUSAD Paramadina juga melakukan penelitian mendalam sepanjang 2021 di Kota Bogor, Kota Semarang, Kabupaten Jepara dan Kabupaten Kulonprogo.
“Dari hasil isian angket, dan juga penilaian kami, keempat daerah tersebut memiliki terobosan baik dalam membuat regulasi baru, terkait pendirian rumah ibadah atau terlibat dalam penyelesaian kasus sengketa tertentu,” kata Raditya terkait pemilihan empat daerah tersebut.
Selain terbebani tugas administrasi dan kurang mampu menjalankan tugas terkait menyelesaikan sengketa yang terjadi antar umat beragama, persoalan lain yang muncul yang dihadapi oleh FKUB adalah kurangnya dukungan dari pemerintah daerah dan masalah internal kelembagaan yang membatasi gerak satu tokoh agama tertentu. Raditya menambahkan bahwa FKUB di beberapa daerah jarang memanfaatkan peran tokoh agama perempuan dalam kepengurusannya.
Daerah yang Progresif
Walaupun terdapat kekurangan di berbagai sektor, temuan penelitian juga mengungkapkan bahwa terdapat beberapa daerah yang cukup berhasil dalam menjaga keharmonisan antar umat beragama. Salah satunya adalah Kota Semarang. Syarif Hidayatullah dari FKUB Kota Semarang menyebut, wilayah tersebut memiliki Peraturan Wali Kota Khusus terkait rumah ibadah.
Peraturan tersebut, menurut Syarif, cukup membantu FKUB dalam menjalankan tugasnya karena kini forum hanya bertugas melakukan verifikasi untuk rumah ibadah baru. Sedangkan izin untuk rumah ibadah lama diurus oleh tim berbeda, yaitu tim verifikasi lintas agama.
Semarang sendiri telah memodifikasi aturan pemberian izin rumah ibadah di mana rumah ibadah yang sudah berdiri sebelum 2021, hanya membutuhkan tanda tangan 5 tokoh agama setempat saja untuk mendapatkan izin.
Aturan yang berlaku secara nasional mengharuskan rumah ibadah yang ingin mengurus izin harus memperoleh tanda tangan dari 60 warga di lingkungan sekitar rumah ibadah tersebut berdiri.
“Harus ada perbedaan, karena rumah ibadah yang sudah berdiri demikian lama, yang sudah terbangun kerukunan demikian lama, masa diperlakukan sama dengan harus mengumpulkan 60 tanda tangan,” lanjut Syarif.
Dengan modifikasi aturan itu, lanjutnya, FKUB menerima banyak sekali pengajuan rekomendasi rumah ibadah.
“Sampai saat ini, yang paling banyak, yang kami berikan adalah izin untuk gereja. Lebih banyak dari pada rumah ibadah lain,” tandasnya.
Problem Paradigma Kerukunan
FKUB, menurut peneliti dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Ahmad Najib Burhani, memang terbebani oleh kata kerukunan itu sendiri. Sebagai sebuah paradigma, kerukunan berada sejajar dengan paradigma harmoni, yang digaungkan Kementerian Agama.
Dalam praktiknya, Ahmad memberi contoh bahwa untuk menghindari bentrok antar-pemeluk agama, kerukunan diterapkan dengan pembatasan-pembatasan pada kelompok minoritas di mana mereka dituntut untuk bersikap ‘tahu diri.’
Selain itu, kerukunan dalam konteks Indonesia hanya berlaku pada enam agama resmi.
“Sementara, kelompok lain semisal Syiah atau Ahmadiyah, atau misalnya di Bali ada kelompok sektarian, kelompok sempalan, itu tidak masuk di dalam konteks paradigma kerukunan yang dibangun pemerintah,” tambah Ahmad.
Dia juga menilai, kerukunan di Indonesia seringkali bersifat simbolik dan tidak substantif. Jika ada kasus intoleransi misalnya, tidak ada upaya bersama-sama melakukan pembelaan. Membangun simbol, seperti deretan rumah ibadah yang berdekatan, kata Najib, memang penting. Namun hal simbolik tersebut perlu diperlebar pada langkah-langkah substansial. [ns/rs]