Kamala Harris naik jabatan, dari tadinya seorang Senator di antara 100 senator lainnya, menjadi WaPres AS dan sekaligus memimpin sidang di Senat.
Selain itu Harris juga merupakan suara penentu setelah kursi Demokrat dan Republik berimbang, masing-masing 50. Dua kemenangan di negara bagian Georgia baru-baru ini berhasil mematahkan kendali Republik di Senat.
Dalam posisi sebagai mayoritas, Demokrat akan bisa meloloskan berbagai produk legislatif.
Chris Edelson adalah profesor ilmu pemerintahan di School of Government, American University. “Hal itu berarti, Presiden Biden memiliki pemerintahan yang mampu mengangkat para Menteri cabinet, menunjuk hakim-hakim, dan meloloskan UU,” ujarnya.
Tetapi seberapa banyak produk legislatif yang bisa diloloskan masih dipertanyakan, karena berbagai aturan dari Senat. Salah satunya adalah filibuster.
Ini adalah sebuah aturan yang dirancang guna memungkinkan sejumlah kecil senator mencegah pemungutan suara, dan caranya adalah dengan terus menerus memperdebatkannya.
Aturan Senat ini mensyaratkan tiga perlima Senat, atau 60 senator harus setuju dulu untuk mengakhiri perdebatan filibuster ini.
Itu berarti harus ada 10 senator Republik yang setuju dengan ke 50 senator Demokrat untuk memungkinkan penyelenggaraan pemungutan suara dan meloloskan agenda Presiden Biden.
Dan pertarungan ini kini dimulai dengan bantuan COVID senilai hampir dua triliun dolar.
Norm Ornstein, seorang peneliti di American Enterprise Institute mengatakan, “Selama kampanye dan sejak pemilihan dirinya Biden mengatakan, dia yakin dia bisa mengajak kelompok Republik untuk bekerja sama. Para senator yang kita harapkan paling bersedia untuk berkompromi adalah Susan Collins dari Maine, dan Mitt Romney dari Utah, tetapi mereka sudah mengatakan kami berpendapat paket bantuan itu tidak diperlukan sekarang. Kita sudah berikan bantuan senilai sembilan ratus milyar. Kita perlu menunggu.”
Tetapi ada aturan lain yang memungkinkan Presiden Biden dan para Demokrat untuk mengatasi filibuster ini, dan langkah ini disebut rekonsiliasi.
Rekonsiliasi adalah sebuah proses yang rumit tetapi memungkinkan mengatasi aturan filibuster asalkan isunya terkait dengan anggaran. Misalnya isu menaikkan atau menurunkan pajak, atau isu belanja pemerintah.
Meloloskan sebuah RUU Rekonsiliasi membutuhkan mayoritas sederhana, tetapi hanya boleh dilakukan sekali per daur anggaran.
Akibatnya beberapa sasaran penting dari agenda Presiden Biden seperti UU hak memilih atau reformasi imigrasi tidak akan tersentuh oleh Rekonsiliasi.
Chris Edelson mengatakan, “Selama kampanye Biden mengatakan, kalau saya terpilih saya tahu ada orang-orang yang mau bekerja sama dengan saya. Tetapi orang-orang di sayap kiri Demokrat berpendapat ini merupakan sikap yang naif dan konyol. Jadi saya rasa Biden harus hati-hati, dia harus realistis.”
Kata Norm Ornstein, “Ingat, ketika filibuster digunakan berulang kali pada 2009 dan 2010 oleh Republik, dalam pemilihan berikutnya, pihak Republik memenangkan lebih banyak kursi di DPR dalam seratus tahun, dan kemudian setelah Obama memenangkan kembali pemilihan, filibuster digunakan lagi dan akibatnya pada pemilihan berikutnya Republik memenangkan Senat. Jadi strategi Republik untuk menghambat cukup efektif di masa lalu, dan mereka akan mencobanya kembali.”
Biden sangat akrab dengan aturan itu karena telah berdinas di Senat selama 36 tahun, dan kini, bagaimana dia mengarungi keruwetan berbagai aturan Senat itu akan menguji kesuksesan dari masa kepresidenannya. [jm/ka]