Puluhan ribu buruh yang tergabung dalam kelompok Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI) se-Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi, berdemonstrasi di Bundaran Hotel Indonesia, Istana Negara, Gedung DPR RI, serta kantor Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Rabu (6/02).
Dalam aksinya, FSPMI mendesak pemerintah untuk mengeluarkan rancangan peraturan pemerintah dan rancangan peraturan presiden tentang jaminan kesehatan dan penerima bantuan iuran. Presiden FSPMI Said Iqbal menekankan iuran jaminan kesehatan untuk buruh harus tetap dibayar Oleh pengusaha.
“Kita juga minta penerima bantuan untuk orang miskin dan tidak mampu, adalah termasuk buruh atau masyarakat yang berpenghasilan upah minum atau lebih kecil dari upah minimum. Jaminan pensiun wajib dijalankan pada 1 Juli 2015,” ujar Said.
Ia menambahkan buruh juga menolak rencana revisi Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Kepmenakertrans) No. 231/2003 tentang tata cara penangguhan pelaksanaan upah minimum.
FSPMI, ujar Said, memberikan batas waktu pada akhir bulan ini agar pemerintah memenuhi tuntutan dari para buruh, khususnya menyangkut penuntasan rancangan peraturan tentang jaminan kesehatan dan penerima bantuan iuran. Meski demikian, FSPMI tetap akan mengedepankan dialog dalam menekan pemerintah, ujar Said.
Staf ahli Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi Dita Indah Sari kepada VOA mengatakan penolakan penangguhan upah bertentangan dengan Undang-Undang No. 13/2003 tentang ketenagakerjaan, yang memberikan peluang bagi perusahaan untuk mengajukan penundaan kenaikan upah.
“Penangguhan itu dijamin oleh undang-undang. Jadi kalau mereka menolak penangguhan, berarti mereka menolak UU No. 13/2003. Padahal ketika kami pemerintah mau merevisi undang-undang ini, kelompok buruh MPBI dan FSPMI inilah yang meminta agar undang-undang itu jangan direvisi,” ujar Dita.
“Hormatilah serikat-serikat pekerja tingkat perusahaan yang mau melakukan perundingan dengan pengusaha di tempat mereka bekerja. Karena yang paling tahu kondisi sebuah perusahaan cuma pengusaha dan buruh di perusahaan tersebut.”
Soal jaminan kesehatan, Dita menjelaskan, pemerintah saat ini tengah menyusun enam peraturan pemerintah, lima peraturan presiden dan satu keputusan presiden untuk mendukung pelaksanaan Undang-Undang No. 24/2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS).
Batas akhirnya, menurut Dita adalah November 2013, bukan November 2012. Dalam UU BPJS yang sebelumnya juga didukung oleh kelompok buruh FSPMI ini, menurut Dita, pasal 17 mengatur bahwa iuran jaminan kesehatan dibayar oleh pemberi kerja dan pekerja.
Pemerintah, tegas Dita, saat ini tengah berupaya agar iuran dari para buruh tidak sampai 5 persen atau 10 persen.
Dalam aksinya, FSPMI mendesak pemerintah untuk mengeluarkan rancangan peraturan pemerintah dan rancangan peraturan presiden tentang jaminan kesehatan dan penerima bantuan iuran. Presiden FSPMI Said Iqbal menekankan iuran jaminan kesehatan untuk buruh harus tetap dibayar Oleh pengusaha.
“Kita juga minta penerima bantuan untuk orang miskin dan tidak mampu, adalah termasuk buruh atau masyarakat yang berpenghasilan upah minum atau lebih kecil dari upah minimum. Jaminan pensiun wajib dijalankan pada 1 Juli 2015,” ujar Said.
Ia menambahkan buruh juga menolak rencana revisi Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Kepmenakertrans) No. 231/2003 tentang tata cara penangguhan pelaksanaan upah minimum.
FSPMI, ujar Said, memberikan batas waktu pada akhir bulan ini agar pemerintah memenuhi tuntutan dari para buruh, khususnya menyangkut penuntasan rancangan peraturan tentang jaminan kesehatan dan penerima bantuan iuran. Meski demikian, FSPMI tetap akan mengedepankan dialog dalam menekan pemerintah, ujar Said.
Staf ahli Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi Dita Indah Sari kepada VOA mengatakan penolakan penangguhan upah bertentangan dengan Undang-Undang No. 13/2003 tentang ketenagakerjaan, yang memberikan peluang bagi perusahaan untuk mengajukan penundaan kenaikan upah.
“Penangguhan itu dijamin oleh undang-undang. Jadi kalau mereka menolak penangguhan, berarti mereka menolak UU No. 13/2003. Padahal ketika kami pemerintah mau merevisi undang-undang ini, kelompok buruh MPBI dan FSPMI inilah yang meminta agar undang-undang itu jangan direvisi,” ujar Dita.
“Hormatilah serikat-serikat pekerja tingkat perusahaan yang mau melakukan perundingan dengan pengusaha di tempat mereka bekerja. Karena yang paling tahu kondisi sebuah perusahaan cuma pengusaha dan buruh di perusahaan tersebut.”
Soal jaminan kesehatan, Dita menjelaskan, pemerintah saat ini tengah menyusun enam peraturan pemerintah, lima peraturan presiden dan satu keputusan presiden untuk mendukung pelaksanaan Undang-Undang No. 24/2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS).
Batas akhirnya, menurut Dita adalah November 2013, bukan November 2012. Dalam UU BPJS yang sebelumnya juga didukung oleh kelompok buruh FSPMI ini, menurut Dita, pasal 17 mengatur bahwa iuran jaminan kesehatan dibayar oleh pemberi kerja dan pekerja.
Pemerintah, tegas Dita, saat ini tengah berupaya agar iuran dari para buruh tidak sampai 5 persen atau 10 persen.