Ribuan buruh dari berbagai organisasi di Jakarta dan sekitarnya melakukan aksi unjuk rasa di depan Istana Negara pada Rabu (21/11) untuk menolak Undang-undang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) dan Undang-Undang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN).
Ahmad Saukani dari Serikat Pekerja Nasional mengatakan kepada VOA bahwa fasilitas jaminan sosial gratis untuk pekerja buruh adalah sebuah kebohongan.
Undang-Undang No.24/2011 tentang BPJS, kata Saukani, menyatakan gaji para buruh harus dipotong sebesar 2 persen dari gaji pokok mulai Januari 2014 dan itu semakin membebankan para buruh yang gajinya sudah sangat kecil.
Menurutnya, jaminan sosial untuk masyarakat seharusnya merupakan tanggung jawab dari pemerintah.
“Untuk itu para buruh mendesak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk segera mencabut kedua Undang-Undang tersebut dan segera mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu),” ujarnya.
Staf Khusus Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Dita Indah Sari menyatakan kewajiban buruh untuk ikut membayar jaminan kesehatan merupakan amanat dari Undang-Undang No.40/2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional yang dikeluarkan pada pemerintahan Presiden Megawati Soekarno Putri.
Untuk itu, mantan ketua Front Perjuangan Buruh Indonesia ini menyarankan para buruh untuk mengusulkan peninjauan kembali ke Mahkamah Konstitusi jika tidak setuju dengan Undang-Undang tersebut.
“Kalau teman-teman tidak setuju dengan Undang-Undang BPJS dan SJSN kami menyarankan melakukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi tentu kita bisa lihat hasilnya. Mahkamah Konstitusi ini kan telah terbukti mampu mengeluarkan keputusan yang spektakuler. BP Migas saja bisa hilang siapa tahu iuran bisa hilang nanti kan,” ujar Dita.
Ia menambahkan pihaknya nanti akan memantau Badan Penyelenggara Jaminan Sosial agar para buruh mendapatkan pelayanan kesehatan yang baik.
“Pada Januari 2014, penyelenggara jaminan kesehatan Jamsostek akan beralih menjadi BPJS kesehatan dibawah mekanisme askes. Kami akan betul-betul pantau jangan sampai fasilitas yang didapat buruh sebelumnya melalui Jamsostek itu turun manfaatnya. Misalnya, tadinya dapat kelas 2 jadi kelas 3. Tadinya dapat bagus menjadi kurang bagus, kita tidak mau itu,” ujar Dita.
Ahmad Saukani dari Serikat Pekerja Nasional mengatakan kepada VOA bahwa fasilitas jaminan sosial gratis untuk pekerja buruh adalah sebuah kebohongan.
Undang-Undang No.24/2011 tentang BPJS, kata Saukani, menyatakan gaji para buruh harus dipotong sebesar 2 persen dari gaji pokok mulai Januari 2014 dan itu semakin membebankan para buruh yang gajinya sudah sangat kecil.
Menurutnya, jaminan sosial untuk masyarakat seharusnya merupakan tanggung jawab dari pemerintah.
“Untuk itu para buruh mendesak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk segera mencabut kedua Undang-Undang tersebut dan segera mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu),” ujarnya.
Staf Khusus Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Dita Indah Sari menyatakan kewajiban buruh untuk ikut membayar jaminan kesehatan merupakan amanat dari Undang-Undang No.40/2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional yang dikeluarkan pada pemerintahan Presiden Megawati Soekarno Putri.
Untuk itu, mantan ketua Front Perjuangan Buruh Indonesia ini menyarankan para buruh untuk mengusulkan peninjauan kembali ke Mahkamah Konstitusi jika tidak setuju dengan Undang-Undang tersebut.
“Kalau teman-teman tidak setuju dengan Undang-Undang BPJS dan SJSN kami menyarankan melakukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi tentu kita bisa lihat hasilnya. Mahkamah Konstitusi ini kan telah terbukti mampu mengeluarkan keputusan yang spektakuler. BP Migas saja bisa hilang siapa tahu iuran bisa hilang nanti kan,” ujar Dita.
Ia menambahkan pihaknya nanti akan memantau Badan Penyelenggara Jaminan Sosial agar para buruh mendapatkan pelayanan kesehatan yang baik.
“Pada Januari 2014, penyelenggara jaminan kesehatan Jamsostek akan beralih menjadi BPJS kesehatan dibawah mekanisme askes. Kami akan betul-betul pantau jangan sampai fasilitas yang didapat buruh sebelumnya melalui Jamsostek itu turun manfaatnya. Misalnya, tadinya dapat kelas 2 jadi kelas 3. Tadinya dapat bagus menjadi kurang bagus, kita tidak mau itu,” ujar Dita.