Demonstran turun ke jalan-jalan Djibouti hari Jumat setelah shalat, menuntut agar Presiden Ismail Omar Guelleh tidak meneruskan rencananya untuk menjabat ketiga kalinya.
Presiden yang berusia 63 tahun itu berkuasa tahun 1999 setelah menggantikan pamannya sebagai ketua partai yang berkuasa di Djibouti. Ia hampir menyelesaikan masa jabatan enam tahunnya yang kedua, tetapi konstitusi negara itu baru-baru ini diubah agar memungkinkan dirinyanya mencalonkan diri lagi dalam pemilihan presiden yang dijadwalkan bulan April.
Para pengamat independen memperkirakan jumlah demonstran hari Jumat itu berkisar antara 1.000 sampai 2.000 orang. Tetapi Mohamed Daoud Chehem dari Partai Djibouti bagi Pembangunan yang beroposisi mengatakan jumlahnya jauh lebih besar.
Ia mengatakan kepada VOA melalui telepon dari tempat terjadinya demonstrasi bahwa demonstran berharap dapat mengikuti contoh yang terjadi Mesir dengan tetap berada di jalan-jalan sampai tuntutan mereka dipenuhi. “Kami akan terus bertahan di sini. Ini tempat kebebasan. Seperti Mesir. Kami akan bertahan di sini,” tegasnya.
Djibouti, negara kecil di Tanduk Afrika antara Eritria dan Somalia dengan sekitar 750.000 penduduk, secara strategis terleyak di mulut Laut Merah, tepat di seberang Teluk Aden dari Yaman.
Negara itu dianggap negara garis depan dalam upaya anti-terorisme, dan menjadi tempat bagi Camp Lemonnier, satu-satunya pangkalan militer Amerika di Sub-Sahara Afrika, dan pangkalan militer kecil milik Prancis.
Chehem mengatakan demonstrasi hari Jumat itu meniru rapat-rapat akbar politik yang baru-baru ini meluas di Afrika Utara dan Timur Tengah. Ia menjelaskan, "Pemerintahan ini bukan rejim yang yang punya dukungan kuat. Rakyat tidak suka rejim ini. Kini kami mendorong agar rejim ini jatuh.”
Chehem mengatakan demonstrasi berlangsung damai, dan polisi tidak menggunakan kekerasan.
Tidak ada wartawan asing bertugas di Djibouti, dan pengajuan visa wartawan yang tiba di bandara minggu ini untuk meliput demonstrasi itu ditolak.