Jinwar atau "tempat perempuan" dalam bahasa Kurdi, adalah desa khusus perempuan.
Berawal dari lima keluarga, komunitas ini berkembang cepat.
"Kebanyakan perempuan menjadi korban perang dan karena itu diperlukan tempat seperti ini. Dalam masyarakat, seringkali diasumsikan bahwa perempuan tak bisa bertahan tanpa laki-laki, tapi kami tak setuju karena kami tahu kekuatan dan tekad kami. Datang ke Jinwar memungkinkan kami mencapai kemajuan dan mengenali diri dengan lebih baik," ujar Fatima Amin​, dari desa Jinwar.
Proyek yang dimulai pada 2018 ini semakin meluas dengan melibatkan perempuan korban KDRT.
Warga mengatakan janda di kawasan itu jumlahnya mencapai ribuan. Dan menurut Amin, sebagian perempuan itu mengalami KDRT, serangan seksual dan eksploitasi.
Akhin Omar kehilangan suaminya dalam serangan Turki di Afrin. Kini dia tinggal di Jinwar dengan dua anaknya.
"Saya datang kemari, dan telah tinggal disini 5-6 bulan. Sangat indah dan sangat aman. Kami punya rumah. Kami terlindungi dengan berbagai cara, dan bisa memenuhi kebutuhan. Kami memiliki kehidupan stabil disini," katanya.
Perempuan lain mengatakan mereka menghadapi kekerasan dalam masyarakat dimana suku dan klan sangat berpengaruh, terutama di kawasan yang pernah dicengkeram ISIS.
"Kami pernah dihina dan disiksa dengan brutal oleh suami-suami kami dan oleh para militan ISIS. Apabila perempuan tidak mengenakan pakaian hitam, dia akan dicambuk. Apabila seorang perempuan memperlihatkan matanya, dia akan dicambuk. Jaman itu sudah berakhir. Kini ada demokrasi, dan kami merasakan kebebasan," kata Amira, penduduk desa tersebut.
Proyek Jinwar didanai dan dikelola oleh tiga organisasi lokal dan konsepnya adalah menyediakan tempat tinggal dan peluang kerja bagi para perempuan.
Ribuan perempuan menjadi janda akibat perang saudara Suriah dan perang melawan ISIS.
Perang, yang kata sebagian perempuan dipicu oleh laki-laki, tapi perempuan dan anak-anak yang menanggung konsekuensinya. [nm/jm]