Tautan-tautan Akses

Dilanda Gelombang Ketiga COVID-19, Eropa Berlakukan Kembali Lockdown


Pemilik usaha kecil dan restoran melakukan unjuk rasa untuk memrotes penerapan kembali lockdown akibat lonjakan COVID-19, di Roma, Italia Senin (12/4).
Pemilik usaha kecil dan restoran melakukan unjuk rasa untuk memrotes penerapan kembali lockdown akibat lonjakan COVID-19, di Roma, Italia Senin (12/4).

Sebagian besar benua Eropa terpaksa memberlakukan kembali lockdown di tengah-tengah gelombang ketiga virus corona yang mematikan. Tetapi di Inggris, bar-bar, toko-toko, dan layanan publik dibuka kembali Senin.

Italia kembali dihadapkan pada lockdown dan warganya marah. Para pemilik restoran berkumpul di Roma pada Senin (12/4) untuk memrotes keputusan pemerintah menutup kegiatan ekonomi.

Seorang pemilik restoran di kawasan Veneto mengatakan, “Kami sudah lelah dengan (pembatasan) ini. Kami perlu bekerja kembali. Kami tidak bisa menghadapi ini lebih lama lagi.”

Italia adalah satu dari beberapa negara Eropa yang masih berjuang melawan gelombang ketiga virus COVID 19. Perancis, Jerman, dan beberapa negara lain sudah memperpanjang pemberlakuan lockdown. Para dokter memperingatkan bahwa semakin banyak warga muda yang perlu dirawat di rumah sakit.

Kanselir Jerman Angela Merkel juga memberi peringatan keras. “Gelombang ketiga ini kemungkinan menjadi yang paling sulit bagi kita,” keluhnya.

Lonjakan kasus COVID 19 ini diakibatkan oleh apa yang disebut varian B117, yang pertama kali diidentifikasi di Inggris, yang terkena secara parah pada Januari. Tetapi kini Inggris bebas dari kecenderungan yang sedang berkembang di Eropa. Bar-bar dan toko-toko dibuka kembali pada Senin, sementara jumlah pasien yang harus dirawat di RS jatuh ke tingkat musim panas yang lalu. Lebih dari 60 persen warga dewasa Inggris sudah menerima dosis vaksin yang pertama.

Anthony Harnden, anggota Komite Gabungan Vaksinasi dan Imunisasi Inggris mengatakan, “Ada gelombang sangat besar – gelombang ketiga – COVID yang melanda Eropa saat ini, dan ini sebagian disebabkan proporsi populasi mereka yang sudah divaksinasi belum tinggi. Program vaksinasi merupakan usaha yang rumit dan bergantung pada kepercayaan publik.”

Jajak pendapat memperlihatkan kepercayaan publik terhadap vaksin AstraZeneca di Inggris mencapai 75 persen. Tetapi mayoritas penduduk di Perancis, Jerman, Italia, dan Spanyol berpendapat vaksin itu tidak aman.

Kebingungan seputar data percobaannya mengakibatkan vaksin itu tadinya hanya untuk warga di bawah usia 65 tahun. Tetapi kebijakan ini kemudian dibalikkan, dan kini beberapa negara justru membatasi penggunaan vaksin ini untuk kelompok usia lanjut saja, setelah kasus penggumpalan darah, yang sebenarnya jarang terjadi, muncul di kalangan warga yang muda usia.

Dokter Peter Drobac, pakar kesehatan global dari University of Oxford mengatakan, “Ini merupakan insiden yang sangat jarang terjadi. Ada, tetapi kita harus mempertimbangkan risiko tertular COVID, atau tertular penyakit yang parah, bahkan meninggal akibat COVID. Dan di banyak tempat dan untuk kebanyakan orang, itu merupakan risiko yang jauh lebih besar.”

Dilanda Gelombang Ketiga COVID-19, Eropa Berlakukan Kembali Lockdown
mohon tunggu

No media source currently available

0:00 0:04:38 0:00


Eropa berusaha meningkatkan kepercayaan publik. PM Perancis disuntik dengan vaksin AstraZeneca dan disiarkan di televisi.

Setelah peluncuran vaksinasi awalnya berlangsung lambat, program inokulasi kini semakin melaju, menggunakan vaksin Pfizer/BioNTech, Moderna, AstraZeneca, dan Johnson & Johnson. Jerman menyuntikkan 720 ribu dosis dalam satu hari minggu lalu. Tetapi peluncuran vaksin Astra Zeneca di Eropa yang dihadapkan pada kesulitan punya dampak sampai keluar perbatasan Eropa, dan kepercayaan publik global terhadap vaksin itu semakin jatuh.

Vaksin AstraZeneca lebih murah dan lebih mudah diproduksi dibandingkan vaksin-vaksin lain, serta hanya memerlukan suhu lemari es yang normal untuk penyimpanannya.

“Jadi untuk alasan-alasan tersebut, saya berpendapat vaksin ini sangat penting. Ini menjadi semacam tulang punggung kampanye vaksinasi global,” tukas Dr. Peter Drobac.

Uni Afrika minggu lalu membatalkan rencana membeli vaksin AstraZeneca, dan mengatakan, pihaknya ingin melakukan diversifikasi terhadap opsi-opsi yang ada. Blok itu mengatakan, keputusan ini tidak terkait keprihatinan akan penggumpalan darah. Tetapi pakar kesehatan mengatakan, hal ini bisa semakin memperbesar keragu-raguan atas vaksin itu. Mereka menyerukan agar kampanye kesadaran global dilancarkan untuk mengatasi kerancuan informasi itu. [jm/ka]

Recommended

XS
SM
MD
LG