Dewan Keamanan PBB pada hari Kamis (17/3) menyetujui mandat kuat untuk misi politiknya di Afghanistan setelah pengambilalihan kekuasaan oleh Taliban Agustus lalu. Mandat itu mengizinkannya untuk mempromosikan kesetaraan gender, pemberdayaan perempuan dan anak perempuan, hak asasi manusia bagi seluruh warga Afghanistan, serta pemerintahan yang inklusif dan representatif.
Resolusi yang disusun Norwegia itu diadopsi dengan hasil voting 14-0, di mana Rusia memilih abstain.
Duta Besar Norwegia untuk PBB Mona Juul mengatakan Dewan Keamanan mengirim pesan yang jelas bahwa misi PBB yang dikenal sebagai UNAMA “memiliki peran penting dalam mempromosikan perdamaian dan stabilitas di Afghanistan serta dalam mendukung rakyat Afghanistan selagi mereka menghadapi tantangan dan ketidakpastian yang belum pernah terjadi sebelumnya.”
Duta Besar Rusia untuk PBB Vassily Nebenzia mengkritisi dewan itu karena tidak berkonsultasi dengan “negara tuan rumah” terkait resolusi terkait. Nebenzia mengatakan, “Kami tidak ingin ini berubah menjadi misi PBB yang mustahil.” Ia mengatakan bahwa penting agar terbentuk “kerja sama yang lebih substantif” antara UNAMA dan Taliban, yang mungkin “tersinggung” karena hal itu tidak tercantum dalam resolusi.
Resolusi yang memperpanjang mandat UNAMA hingga 17 Maret 2023 itu tidak menyebut nama Taliban, namun memberi wewenang kepada misi dan perwakilan khusus PBB untuk Afghanistan, Deborah Lyons, untuk melakukan pekerjaan mereka “dalam konsultasi erat dengan seluruh aktor dan pemangku kepentingan politik Afghanistan yang relevan, termasuk otoritas terkait jika diperlukan.”
DK PBB mengizinkan UNAMA untuk menjalin komunikasi dan menggunakan jasanya “untuk memfasilitasi dialog antara semua aktor dan pemangku kepentingan politik Afghanistan yang relevan, kawasan dan komunitas internasional yang lebih luas.”
Fokusnya yaitu “mempromosikan pemerintahan yang inklusif, representatif, partisipatif dan responsif” di tingkat nasional, provinsi dan lokal, tanpa diskriminasi berdasarkan gender, agama dan etnis. Selain itu, harus terdapat “partisipasi penuh, setara dan bermakna dari perempuan dan partisipasi bermakna dari kelompok minoritas, pemuda dan penyandang disabilitas.”
Setelah Taliban mengambil alih kekuasaan pada 15 Agustus lalu, ketika AS dan NATO berada pada tahap akhir penarikan pasukan yang kacau dari Afghanistan setelah 20 tahun, para pemimpin kelompok itu menjanjikan pemerintahan yang inklusif, namun hingga saat ini sebagian besar masih beretnis Pashtun dan tidak melibatkan perempuan.
Selama pemerintahan sebelumnya pada periode 1996-2001, Taliban menolak hak anak perempuan dan perempuan dewasa untuk mendapat pendidikan dan melarang mereka terlibat dalam kehidupan masyarakat.
Kini mereka mengizinkan anak perempuan mengenyam pendidikan sekolah dasar dan berjanji akan membuka kembali sekolah bagi anak perempuan segala usia mulai bulan depan. Sementara pekerjaan bagi perempuan masih dibatasi, mereka kini dapat kembali bekerja dalam sektor kesehatan, pendidikan dan di bandara sebagai staf pengawasan paspor dan bea cukai.
DK PBB menungkapkan keprihatinannya terhadap “situasi ekonomi dan kemanusiaan yang mengerikan di Afghanistan. Resolusi itu memperpanjang peran UNAMA dalam mengoordinasikan pengiriman bantuan yang amat dibutuhkan.
Perekonomian Afghanistan yang telah lama bermasalah semakin mengalami kemunduran semenjak Taliban berkuasa kembali.
Lyons, utusan PBB, memberitahu dewan keamanan pada awal Maret bahwa perekonomian Afghanistan menuju “titik yang tidak dapat dikembalikan” ke kondisi semula. Ia mengatakan bahwa masyarakat internasional belum berbuat cukup untuk membantunya bangkit. Akan tetapi, AS mengatakan bahwa merupakan tanggung jawab penguasa Taliban untuk menciptakan kondisi stabilitas ekonomi. [rd/lt]