Dengan meningkatnya kasus kekerasan seksual, banyak pakar berpendapat bahwa Rancangan Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) menjadi kebutuhan hukum nasional yang perlu dibahas dan ditetapkan oleh DPR bersama pemerintah.
Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Puan Maharani dalam pidatonya saat membuka rapat paripurna, Selasa (11/1), mengatakan RUU TPKS ini akan disahkan menjadi RUU inisiatif lembaganya pada pekan depan.
Menurutnya penyusunan naskah dan harmonisasi RUU tersebut telah dirampungkan di Badan Legislasi DPR.
"Pimpinan DPR RI akan segera menindaklanjuti RUU TPKS ini sesuai dengan ketentuan mekanisme yang ada di DPR RI. Sehingga insya Allah minggu depan, hari Selasa tanggal 18 Januari, RUU TPKS akan disahkan sebagai RUU inisiatif DPR RI dan selanjutnya akan dibahas bersama dengan pemerintah," kata Puan.
RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual, kata Puan, diharapkan dapat memperkuat upaya perlindungan dari tindak kekerasan seksual dan mempertajam paradigma untuk berpihak kepada korban.
Ketua Panitia Kerja RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual sekaligus Wakil Ketua Badan Legislasi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Willy Aditya menjelaskan rumusan pengaturan tindak pidana dalam RUU tersebut meliputi pelecehan non-fisik, pelecehan fisik, pelecehan seksual berbasis elektronik, pemaksaan kontrasepsi yang dapat menghilangkan fungsi reproduksi untuk sementara waktu dan tetap, serta eksploitasi seksual yang dilakukan oleh individu dan korporasi.
Aktivis perempuan dari LBH Apik Ratna Bathara Munti mengungkapkan aturan pidana dalam draf RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual yang disahkan oleh Badan legislasi DPR masih belum memasukkan lima bentuk pidana lainnya yakni pemaksaan aborsi, pemaksaan perkawinan, pemaksaan pelacuran, perbudakan seksual dan pemaksaan hubungan seksual.
Ratna berharap akan ada substansi yang ditambahkan dalam pembahasan RUU nantinya, termasuk diantaranya mekanisme satu atap dalam proses penegakan hukum dan pemulihan korban kekerasan seksual.
Maraknya kasus kekerasan seksual terhadap perempuan mendorong sejumlah organisasi perempuan agar RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual itu dapat segera dibahas dan disahkan tahun depan.
Pegiat advokasi RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual yang juga mantan Komisioner Komnas Perempuan, Sri Nurherawati menilai RUU TPKS harus menjadi undang-undang khusus yang mengatur hukum pidana untuk memperbaiki hukum acaranya, karena hukum pidana saat ini tidak mengatur hak korban dan pendamping korban.
"Tindak pidana ini penting karena undang-undang yang ada sekarang bahkan KUHP hanya melandaskan pada persoalan kejahatan kesusilaan," kata Sri.
Menurut Sri, pidana penjara dan denda terhadap pelaku kekerasan seksual tidak cukup untuk memenuhi rasa keadilan bagi korban. Oleh karena itu, menurutnya, harus ada rehabilitasi untuk mencegah terulangnya kekerasan seksual dan harus ada restitusi berupa kompensasi atau permintaan maaf dari pelaku untuk mendukung proses pemulihan korban.
Sri mengatakan, terkait pemulihan korban, peran keluarga dan masyarakat sangat penting dalam mendukung upaya pemulihan korban dari trauma. [fw/ah]