Festival Pekerja Hari Gini yang dilakukan secara daring diramaikan dengan kehadiran sejumlah pekerja perempuan dari berbagai profesi, mulai dari jurnalis hingga buruh pabrik, yang mengungkapkan bagaimana mereka dirumahkan perusahaan karena dampak pandemi. Padahal selama ini mereka menjadi tulang punggung keluarga. Perwakilan dari Kesatuan Serikat Pekerja Nasional, Yartatik, mengungkapkan beban ganda yang dialaminya sebagai perempuan pekerja.
"Dalam kondisi pandemi seperti ini, siapa yang paling terdampak? Saya yakin perempuan pekerja. Pandemi ini benar-benar memprihatinkan bagi para buruh atau pekerja, terutama perempuan. Mereka tidak hanya sebagai pencari nafkah tambahan, tetapi sudah menjadi tulang punggung keluarga,” ujar Yartatik.
Tak hanya buruh pabrik, dampak pandemi juga dirasakan para pekerja rumahan. Pesanan atau 'orderan' pekerjaan kini semakin sedikit. Perwakilan perempuan pekerja rumahan, Muhayati, memaparkan bagaimana ia mendapat upah yang sangat minim, meskipun telah mengorbankan sebagian ruangan di rumahnya sebagai tempat bekerja dan gudang.
"Sampai sekarang pekerja rumahan itu dalam posisi paling rentan. PHK, upah murah, padahal perusahaan mengambil keuntungan banyak. Mereka tidak bayar air, listrik, barang mereka numpuk di rumah kami seperti gudang.kami pekerja rumahan tidak menikmati jaminan sosial, BPJS Ketenagakerjaan, BPJS Kesehatan, maupun THR,” ungkap Muhayati.
Konstitusi Melindungi Pekerja Saat Pandemi
Festival ini juga menyoroti Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja yang ramah investor, tapi dinilai tidak pro-pekerja. Perwakilan Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia, Jumisih, menilai banyak ketidakadilan bagi buruh perempuan dalam konstitusi itu.
"UU Omnibus Law Cipta Kerja membuat posisi buruh atau pekerja menjadi dapat upah murah, rekrut dan PHK pekerja mudah, ketidakpastian masa depan nasib pekerja, dan sebagainya,” jelas Jumisih.
Sejumlah perwakilan serikat buruh sepakat mendesak pemerintah mencabut UU Omnibus Law Cipta Kerja dan segera mengesahkan RUU Pembantu Rumah Tangga maupun RUU PKS.
Diskriminasi Pekerja
Festival yang berlangsung meriah ini juga menyoroti masih adanya diskriminasi, terutama terhadap kelompok difabel. Perwakilan dari Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia HWDI Jakarta, Muharyati, mengatakan aturan pekerja disabilitas sudah jelas, dengan prosentase hingga fasilitas upah dan akses infrastruktur perusahaan. Namun pemenuhan hak pekerja disabilitas itu masih timpang.
"Meskipun sederet UU dan regulasi tentang Penyandang Disabilitas dalam kesempatan kerja, kami masih banyak mengalami diskriminasi yang luar biasa. Ketentuan kerja dan kriteria tidak inklusif, dan tidak ramah pada disabilitas. Itulah alasan penyandang disabilitas masih kesulitan mendapat pekerjaan," jelas Muhariyati.
Hak Perempuan Pekerja
Lebih jauh perwakilan Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia, Jumisih, menuturkan masih ada perusahaan yang mengabaikan hak perempuan pekerja.
"Hak cuti haid, hak melahirkan, hak ruang laktasi, jam kerja, dan sebagainya masih belum diterapkan di perusahaan,” tegas Jumisih.
Wakil Komnas Perempuan Tiasri Wiandani kembali menggarisbawahi komitmennya untuk melindungi perempuan pekerja dari segala bentuk regulasi yang dinilai merugikan perempuan.
"Komnas Perempuan di dalam rencana kerjanya sudah menetapkan bahwa isu kepemimpinan hingga hak perempuan pekerja menjadi prioritas dalam agenda kerja kami. Sebagai lembaga independen, Komnas Perempuan akan melakukan kontrol dalam upaya pemenuhan hak konstitusi perempuan sebagai warga negara,” kata Tias.
Festival Pekerja Hari Gini juga dimeriahkan dengan pentas seni, di mana para peserta bernyanyi dan membaca puisi terkait perempuan dan pekerja. Salah seorang transgender, Jessica, menampilkan monolog berjudul “Puan,” sementara seorang wakil dari Radio Marsinah FM membacakan puisi berjudul “Jiwa.” Festival ini diharapkan dapat memaparkan berbagai isu yang dihadap perempuan pekerja di tengah pandemi dan perjuangan mereka secara terus menerus untuk mengatasinya. [ys/em]