Aktivis pendidikan Najelaa Shihab menilai penting bagi semua pihak untuk mengingatkan kembali pentingnnya keberagaman dan keterbukaan sikap. Salah satunya diantaranya lewat film yang bisa menjadi sarana pendidikan yang efektif.
Najeela menyadari film memiliki kekuatan luar biasa untuk menjadi penggerak perubahan pendidikan. Ditambahkannya sinergi antara dunia pendidikan dan film tidak hanya menguntungkan bagi pendidikan tapi juga bermanfaat bagi industri perfilman.
Najelaa mengatakan Cahaya dari Timur: Beta Maluku adalah salah satu film pertama yang diberikan secara gratis kepada sinedu.id.
Film garapan sutradara Angga Dwimas Sasongko dan dirilis pada 2014 ini bercerita soal Sani Tawainella (diperankan oleh Chicco Jericho) ingin menyelamatkan anak-anak di kampungnya dari konflik agama yang terjadi di Ambon melalui sepak bola.
Di tengah kesulitan hidup serta pilihan antara keluarga atau tim sepak bolanya, Sani ditugaskan membawa timnya mewakili Maluku di kejuaraan nasional. Namun keputusannya membaurkan anak-anak berbeda agama dalam satu tim justru menyebabkan perpecahan.
Najelaa menjelaskan film menjadi salah satu inovasi luar biasa dalam pendidikan terkait keragaman. Sebab ia menghadirkan begitu banyak hal - figur, cerita, bahasa, dan konteks lain - sangat memperkaya dan kalau dalam situasi normal tidak bisa hadir di dalam kelas.
“Kalau kita bicara keragaman lagi, kita sebetulnya bicara cara berpiir, cara memecahkan masalah, cara berempati dan memahami perspektif orang lain, yang semuanya itu sebetulnya kekuatan film,” ujar aktivis pendidikan Najelaa Shihab.
Najelaa menerang film-film ada di sinedu.id juga dilengkapi modul agar para guru bisa membantu mengajar melalui film.
Mantan Presiden B.J. Habibie yang hadir dalam diskusi tentang hal ini di Jakarta akhir pekan ini mengatakan teknologi harusnya dibuat oleh manusia yang mampu mensinergikan antara budaya, agama, serta ilmu pengetahuan dan teknologi.
Dalam kesempatan yang sama, Irfan Ramli, salah satu pemeran dalam film Cahaya dari Timur, menceritakan bagaimana ketika kerusuhan Ambon terjadi pada 19 Januari 1999, dirinya masih berusia 10 tahun. Dia hidup dalam lingkungan berbaur antara muslim dan Kristen di kawasan Batu Merah, Kota Ambon.
Setelah konflik berdarah meletup, Irfan dan keluarganya menyelamatkan diri dan hidup dalam pengungsian. Konflik berdarah itu membuat Irfan kehilangan banyak teman termasuk teman sebangkunya yang beragama Nasrani, Petrus Usmani.
Irfan Ramli menekankan konflik berdarah di Ambon meledak karena masalah agama. Sebab orang-orang di sana sangat percaya dengan simbol-simbol agama. Provokasinya ada masjid dibakar, ada gereja dibakar.
Lingkungan sebelum (konflik) adalah saya sekolah di tempat di mana orang Islam dan Kristen berbaur. Saya punya teman Kristen, saya pergi ke sekolah Minggu. Kita merayakan Natal. Bahkan cerita bagaimana hubungan agama itu sesuatu yang sangat cair itu bisa mencapai di suatu titik di mana orang Kristen kalau datang ke lebaran orang Islam bisa bungkus makanan buat bawa pulang buat persediaan besok. Saking dekatnya dia dan saking sukanya dia dengan masakan orang Islam. Begitu pun sebaliknya. Ketika mereka merayakan Natal, kita akan pergi dan Santa Klaus menjadi sesuatu yang unik banget bagi anak Islam waktu itu.
Irfan menambahkan tiba-tiba situasi itu berubah ketika berada di tempat pengungsian dimana orang tidak lagi dilihat berdasarkan latar belakang agama atau rasnya.
Film "Cahaya dari Timur" yang digarap Irfan, membantu pemulihan luka batin akibat konflik di Ambon.
Hilmar Farid, Direktur Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan, mengatakan pihaknya tengah mengembangkan sebuah proyek untuk mengembangkan imajinasi kebangsaan di kalangan anak-anak dan generasi muda. [fw/em]