Pemerintah Pantai Gading yang dipimpin presiden Laurent Gbagbo menuntut agar pasukan pemelihara perdamaian PBB dan Perancis meninggalkan negara itu. Pendukung Gbagbo menuduh pasukan pemelihara perdamaian membantu pesaingnya Alassane Outtara untuk menjadi presiden.
Berbicara lewat televisi pemerintah hari Sabtu, seorang jurubicara Gbagbo mengatakan misi pemelihara perdamaian telah melanggar mandatnya. Dia juga mengatakan, pemerintahan Gbagbo menentang perpanjangan mandat yang berakhir bulan ini.
Jurubicara Operasi Pemelihara Perdamaian PBB Michel Bonnadeaux mengatakan, ultimatum yang dinyatakan Gbagbo itu tidak relevan karena dia bukan presiden Pantai Gading yang diakui masyarakat internasional. Dia mengatakan, satu-satunya pihak yang berwenang mengakhiri operasi pemeliharaan perdamaian adalah DK PBB.
Gbagbo telah menolak seruan PBB, Prancis dan Uni Afrika dan pihak-pihak lain untuk menyerahkan kekuasaan kepada Outtara, menyusul pemilu presiden ulang bulan lalu.
Tuntutan pemerintahan Gbagbo itu muncul beberapa jam setelah misi PBB di Pantai Gading melaporkan serangan terhadap markasnya di Abidjan. Menurut misi itu, sejumlah lelaki berseragam militer melepaskan tembakan ke arah markas, Jumat malam, yang memicu tembakan balasan dari pasukan perdamaian.
Tidak ada laporan korban cedera dalam baku tembak tersebut.
Hari Jumat, Sekjen PBB Ban Ki-moon dan Presiden Perancis Nicolas Sarkozy mengulangi seruan mereka kepada Gbagbo agar menyerahkan kekuasaan. Tetapi para pendukung Gbagbo telah bertekad mempertahankan kedudukan pemimpin mereka.
Kantor berita Perancis mengutip seorang staf teras Gbagbo, Charles Ble Goude, yang mengatakan Sarkozy harus “melangkahi mayat mereka” kalau akan menangkap presiden. Ia meminta seluruh rakyat Pantai Gading agar siap bertempur.
Sedikitnya 20 orang tewas dalam bentrokan di jalan-jalan Abidjan, hari Kamis, sewaktu pendukung Ouattara berusaha berpawai menuju stasiun televisi pemerintah.