Absennya tanda-tanda pembentukan dewan transisi atau penunjukan perdana menteri membuat sebagian warga Haiti berupaya meninggalkan negara itu.
Bandara dan pelabuhan laut di Port-au-Prince ditutup sebulan lalu karena aktivitas geng. Bandara di Cap-Haitien, di pantai utara, memulai kembali penerbangan ke Miami minggu lalu.
Kekacauan terjadi di Haiti ketika geng-geng kekerasan kini menguasai sebagian besar ibu kota, menewaskan ribuan orang, dan memaksa jutaan orang mengalami kelaparan akut.
Data Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menunjukkan bahwa lebih dari 53.000 warga Haiti telah meninggalkan ibu kota Haiti, Port-au-Prince. Kebanyakan dari mereka mencari perlindungan di daerah pedesaan di Haiti selatan, yang menurut PBB tidak akan mampu menampung pengungsi dalam jumlah besar.
“Setiap hari adalah perkara hidup atau mati,” kata Pierre Joseph, seorang pekerja lembaga nirlaba Save the Children yang berusia 34 tahun, seperti dikutip dalam sebuah pernyataan. Badan amal tersebut mengatakan dia terpaksa meninggalkan dua rumah bersama istri dan bayinya yang berusia enam bulan dan berjuang untuk mendapatkan kebutuhan pokok.
“Untuk pertama kalinya, kami menghadapi krisis di mana tidak ada yang berfungsi, di mana pemerintahan tidak berfungsi,” katanya, seraya menambahkan bahwa pasokan makanan dan listrik telah habis.
Negara-negara tetangga telah meningkatkan langkah-langkah pengamanan di perbatasan. Republik Dominika, yang berbatasan darat dengan Haiti, telah mengesampingkan kamp pengungsi di wilayahnya dan mendeportasi puluhan ribu orang.
Dalam sambutan yang dikeluarkan pemerintah Dominika, Kamis (4/4), Menteri Luar Negeri Dominika Roberto Alvarez mengatakan kepada BBC bahwa sekitar 10.000 personel militer telah dikerahkan ke perbatasan sepanjang hampir 400 kilometer.
Geng kriminal tidak hanya menguasai pelabuhan utama di Port-au-Prince, tetapi juga banyak akses jalan kota sehingga menyulitkan pengangkutan pasokan medis.
Akses terhadap layanan kesehatan, yang sudah sangat dibatasi, menjadi semakin sulit setelah orang-orang bersenjata menjarah sebuah rumah sakit di lingkungan Delmas 18 dan pusat kesehatan Saint-Martin minggu lalu.
Kantor Koordinasi Urusan Kemanusiaan PBB, atau OCHA (United Nations Office for the Coordination of Humanitarian Affairs) mengatakan organisasi bantuan di Haiti terus memberikan bantuan darurat kepada orang-orang yang terkena dampak kekerasan baru-baru ini, meskipun ada tantangan keamanan dan pendanaan.
Program Pangan Dunia (World Food Program/WFP) dan mitranya pada Kamis (4/4) mengirimkan 21.500 makanan hangat kepada para pengungsi di ibu kota Port-au-Prince dan 216.000 makanan sekolah di Cap Haitien, Gonaives, Jérémie dan Miragoâne.
Perdana Menteri Haiti Ariel Henry mengumumkan pengunduran dirinya pada 11 Maret karena meningkatnya kekerasan menghalangi kepulangannya dari luar negeri, sambil menunggu pembentukan dewan transisi yang dimediasi oleh para pemimpin regional untuk melantik penggantinya.
Selama beberapa dekade, negara itu dilanda kemiskinan, bencana alam, ketidakstabilan politik, dan kekerasan geng. Pembunuhan presiden ke-43 Haiti, Jovenel Moïse, pada 7 Juli 2021, di Port-au-Prince memicu meningkatnya ketidakamanan dan kekerasan selama berbulan-bulan di negara tersebut. Situasi kekerasan itu makin meningkat selama bentrokan pada Februari, beberapa minggu sebelum pengumuman pengunduran diri Henry.
Tidak dipilih dan tidak populer, keputusan Henry untuk mundur sebagai bagian dari rencana yang dimediasi secara internasional tidak meredakan kekerasan yang terjadi.
Penggantinya yang akan ditunjuk oleh dewan transisi yang masih belum jelas. Dewan tersebut belum secara resmi dibentuk dan dilantik di tengah perselisihan di antara partai-partai politik dan pemangku kepentingan lainnya karena adanya keraguan atas legalitas dewan tersebut. [ft/ah]