Lembaga pemantau Reporters Without Borders (RSF) mencatat Indeks Kebebasan Pers Indonesia naik ke posisi 119 pada 2020 dari posisi 124 pada tahun sebelumnya. Dengan indeks tahun ini, posisi Indonesia masih jauh di bawah Timor Leste yang berada di posisi 78 dan Malaysia 101. Dan lebih baik dibandingkan Filipina yang berada di posisi 136, Burma 139, Thailand 140, Kamboja 144, Brunei 152, Singapura 158, Laos 172 dan Vietnam 175.
Kendati demikian, RSF menilai Presiden Joko Widodo belum memenuhi janji kampanyenya untuk menjamin kebebasan pers pada masa lima tahun pertama kepemimpinannya. Itu terlihat dari kekerasan yang dialami jurnalis pada Mei 2019 lalu.
"Masa kepresidenannya ditandai oleh pembatasan drastis pada akses media ke Papua Barat, tempat di mana kekerasan terhadap jurnalis lokal terus meningkat," tulis RSF dalam laman resminya.
RSF juga menyoroti penangkapan dan penuntutan terhadap wartawan asing dan pendamping (fixers) yang mencoba mendokumentasikan pelanggaran militer Indonesia dan meliput masalah kemanusiaan di Papua. Pihak berwenang tidak ragu-ragu untuk memutus internet pada saat ketegangan, seperti yang terjadi pada Agustus 2019, tulis RSF.
Di samping itu, menurut RSF, banyak wartawan mengatakan mereka menyensor diri mereka sendiri karena kuatnya ancaman jeratan undang-undang anti-penistaan agama dan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Kenaikan Peringkat RSF Tak Mencerminkan Realitas
Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Abdul Manan mengatakan kenaikan peringkat Indeks Kebebasan Pers Indonesia tidak mencerminkan kondisi kebebasan pers di Indonesia. Ia beralasan dari aspek hukum, politik dan ekonomi tidak menunjukkan dukungan terhadap kebebasan pers.
"Dari aspek regulasi, tidak ada regulasi baru yang menguntungkan pers. Malah pemerintah dan DPR menyiapkan revisi yang bisa menjadi ancaman bagi kebebasan pers," jelas Abdul Manan kepada VOA, Jumat (24/4).
Dua revisi undang-undang yang dinilai akan mengancam kebebasan pers yaitu Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RUU KUHP). Menurut Manan, setidaknya ada 10 pasal dalam RUU KUHP yang bisa mengkriminalkan jurnalis dalam menjalankan fungsinya.
Kesepuluh pasal tersebut yaitu Pasal 219 tentang penghinaan terhadap presiden atau wakil presiden; Pasal 241 tentang penghinaan terhadap pemerintah; Pasal 247 tentang hasutan melawan penguasa; Pasal 262 tentang penyiaran berita bohong; Pasal 263 tentang berita tidak pasti; Pasal 281 tentang penghinaan terhadap pengadilan; Pasal 305 tentang penghinaan terhadap agama; Pasal 354 tentang penghinaan terhadap kekuasaan umum atau lembaga negara; Pasal 440 tentang pencemaran nama baik; Pasal 444 tentang pencemaran orang mati. Setelah mendapat protes luas, draft itu mengalami sedikit perubahan pada pasal 281.
Manan juga menyoroti surat telegram Kapolri tentang tindak pidana pada ranah siber yang di dalamnya tercantum juga soal penghinaan kepada presiden atau pejabat pemerintah selama pandemi Covid-19. Menurutnya, pasal ini juga berpotensi mengancam kebebasan berekspresi masyarakat yang ingin mengkritik pemerintah.
"Kita punya regulasi di bawah Undang-undang yang potensial mengekang kebebasan berekspresi yaitu telegram Kapolri yang memonitor soal hoaks Covid-19 dan sudah memakan korban," tambah Manan.
Di samping itu, angka kekerasan terhadap jurnalis terbilang masih tinggi. Berdasarkan catatan AJI tahun 2019, ada 53 kasus kekerasan terhadap jurnalis, yang dari segi pelaku didominasi oleh polisi. Adapun jenis kekerasannya beragam mulai dari kekerasan fisik, perusakan alat atau data hasil liputan, hingga teror.
Dewan Pers Perkirakan Iklim Kebebasan Pers di Indonesia Bakal Memburuk
Anggota Dewan Pers, Arif Zulkifli menambahkan lembaganya juga melihat iklim kebebasan pers di Indonesia ke depan akan memburuk. Itu terlihat dari rencana pemerintah dan DPR mengubah sejumlah pasal Undang Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers dalam omnibus law Cipta Kerja. Salah satunya soal sanksi bagi perusahaan pers yang akan diatur dengan peraturan pemerintah (PP). Ia meyakini aturan ini akan akan membatasi kebebasan pers jika nantinya disahkan DPR dan pemerintah.
"Di dalam UU Pers sebetulnya prinsip dasarnya adala pengaturan diri sendiri (Self regulatory). Jadi turunan dari UU Pers bukan PP tapi peraturan Dewan Pers. Jadi sudah benar itu dasar logikanya ketika kita membuat UU Pers," jelas Azul kepada VOA, Jumat (24/4).
Di samping itu, Azul juga mengkritik kebijakan pembatasan internet yang dilakukan pemerintah beberapa kali di sejumlah wilayah Papua dengan dalih memberantas hoaks. Menurutnya, kebijakan tersebut justru membuat media tidak dapat melakukan peristiwa dan menyebarkan berita sesuai fakta di lapangan. Karena itu, Dewan Pers meminta pemerintah untuk tidak melanjutkan kebijakan pembatasan internet ini pada masa mendatang. [sm/em]