Setelah menghentikan sementara impor garam awal 2012 lalu, pemerintah kembali membuka keran impor pada 6 September karena produksi garam nasional dinilai tidak cukup. Namun menurut Menteri Koordinator bidang Perekonomian, Hatta Rajasa, pemerintah tetap melakukan berbagai upaya agar produksi cukup dan harga stabil sehingga tidak merugikan petani garam dalam negeri.
“Gunjang-ganjing garam ini tidak berujung, harus ada solusi, tidak bisa begini terus. Garam produksi rakyat harga jatuh, nanti garam nggak ada, impor, ini nggak bisa terus-terusan begitu. Oleh sebab itu saya mengusulkan agar ada yang disebut dengan stabilisasi harga garam sehingga garam rakyat dibeli pada harga yang telah ditetapkan,” ujar Hatta.
Ketua Asosiasi Produsen Garam Surabaya, Jawa Timur, Slamet Untung Irredenta, berpendapat, pihaknya dan para petani garam sadar impor masih dibutuhkan karena hasil produksi kurang. Namun, ia mengingatkan harus tetap ada kebijakan yang tidak merugikan petani garam.
“Petani pun itu tidak alergi terhadap impor apabila memang itu diperlukan pemerintah. Kedua, adanya impor itu tidak berpengaruh kepada permainan harga garam yang ada di dalam negeri. Tapi petani ini harus dijaga, ekonomi, keterampilan antara petani Indonesia dengan yang ada di Australia, di India itu sangat berbeda, mau dibandingkan antara harga garam Indonesia. Di Australia paling hanya ada lima perusahaan, sedang di sini itu ribuan petani,” ujarnya.
Slamet menambahkan, saat ini infrastruktur proses pembuatan garam tidak memadai sehingga berpengaruh negatif terhadap kualitas dan kuantitas garam lokal.
“Teknologi itu kan sangat tergantung daripada panjang pendeknya musim, untuk para petani perlu sarana prasarana. Petani garam perlu bantuan perbaikan saluran, air, pompa, tanggul yang berbatasan dengan laut, jalan dari penggaramannya ke tempat pengumpulan sehingga dapat mengurangi biaya-biaya produksinya,” ujar Slamet.
Ketua Asosiasi Petani Garam Seluruh Indonesia (Apgasi), Syaiful Rahman berpendapat, garam impor sangat memukul petani garam lokal karena kalah bersaing harga dan mutu.
“Garam-garam impor yang sudah sampai di Indonesia ini sudah merembes ke pasar-pasar lokal. Kami harapkan agar supaya pendistribusian garam impor itu diawasi,” ujar Syaiful.
Apgasi mencatat rata-rata per tahun pendapatan petani garam sekitar Rp 4 juta. Masa panen garam di Indonesia rata-rata per tahun hanya empat bulan karena cuaca yang terbaik untuk proses pembuatan garam memang hanya sekitar empat bulan.
Rata-rata per tahun kebutuhan garam nasional sekitar 1,4 juta ton, sementara kemampuan produksi sekitar 1,5 juta ton, namun untuk mengamankan stok pemerintah melakukan impor sekitar 500.000 ton per tahun. Australia dan India merupakan negara eksportir garam terbesar bagi Indonesia.
“Gunjang-ganjing garam ini tidak berujung, harus ada solusi, tidak bisa begini terus. Garam produksi rakyat harga jatuh, nanti garam nggak ada, impor, ini nggak bisa terus-terusan begitu. Oleh sebab itu saya mengusulkan agar ada yang disebut dengan stabilisasi harga garam sehingga garam rakyat dibeli pada harga yang telah ditetapkan,” ujar Hatta.
Ketua Asosiasi Produsen Garam Surabaya, Jawa Timur, Slamet Untung Irredenta, berpendapat, pihaknya dan para petani garam sadar impor masih dibutuhkan karena hasil produksi kurang. Namun, ia mengingatkan harus tetap ada kebijakan yang tidak merugikan petani garam.
“Petani pun itu tidak alergi terhadap impor apabila memang itu diperlukan pemerintah. Kedua, adanya impor itu tidak berpengaruh kepada permainan harga garam yang ada di dalam negeri. Tapi petani ini harus dijaga, ekonomi, keterampilan antara petani Indonesia dengan yang ada di Australia, di India itu sangat berbeda, mau dibandingkan antara harga garam Indonesia. Di Australia paling hanya ada lima perusahaan, sedang di sini itu ribuan petani,” ujarnya.
Slamet menambahkan, saat ini infrastruktur proses pembuatan garam tidak memadai sehingga berpengaruh negatif terhadap kualitas dan kuantitas garam lokal.
“Teknologi itu kan sangat tergantung daripada panjang pendeknya musim, untuk para petani perlu sarana prasarana. Petani garam perlu bantuan perbaikan saluran, air, pompa, tanggul yang berbatasan dengan laut, jalan dari penggaramannya ke tempat pengumpulan sehingga dapat mengurangi biaya-biaya produksinya,” ujar Slamet.
Ketua Asosiasi Petani Garam Seluruh Indonesia (Apgasi), Syaiful Rahman berpendapat, garam impor sangat memukul petani garam lokal karena kalah bersaing harga dan mutu.
“Garam-garam impor yang sudah sampai di Indonesia ini sudah merembes ke pasar-pasar lokal. Kami harapkan agar supaya pendistribusian garam impor itu diawasi,” ujar Syaiful.
Apgasi mencatat rata-rata per tahun pendapatan petani garam sekitar Rp 4 juta. Masa panen garam di Indonesia rata-rata per tahun hanya empat bulan karena cuaca yang terbaik untuk proses pembuatan garam memang hanya sekitar empat bulan.
Rata-rata per tahun kebutuhan garam nasional sekitar 1,4 juta ton, sementara kemampuan produksi sekitar 1,5 juta ton, namun untuk mengamankan stok pemerintah melakukan impor sekitar 500.000 ton per tahun. Australia dan India merupakan negara eksportir garam terbesar bagi Indonesia.