Human Rights Watch mendesak pemerintah Indonesia untuk melibatkan ahli-ahli forensik dalam penggalian kuburan massal yang terkait dengan pembantaian lebih dari setengah abad yang lampau, untuk memastikan pengawetan bukti penting dan memungkinkan identifikasi mayat.
Pernyataan dari kelompok advokasi hak asasi manusia yang berbasis di New York itu muncul sebulan setelah Presiden Joko Widodo memerintahkan para pejabat terkait untuk mulai mendokumentasikan lokasi-lokasi kuburan massal yang diperkirakan berisi lebih dari 500.000 korban pembantaian anti-komunis tahun 1965-1966.
Tanpa ahli forensik, penggalian dapat menghancurkan bukti penting dan akan membuat identifikasi mayat sangat rumit, menurut HRW dalam pernyataan hari Senin (23/5).
"Penggalian kuburan massal para korban 1965-66 adalah langkah penting menuju akuntabilitas yang pantas mendapatkan dukungan rakyat Indonesia dan donor asing," ujar Phelim Kine, wakil direktur Asia HRW.
Awal bulan ini, pemerintah mengumumkan akan membentuk tim untuk menyelidiki daftar berisi dugaan 122 kuburan massal yang dibuat oleh kelompok-kelompok advokasi korban.
Pembantaian itu dimulai Oktober 1965, tak lama setelah percobaan kudeta yang digagalkan dimana enam jenderal sayap kanan dibunuh. Soeharto, mayor jenderal tak dikenal saat itu, mengisi kekosongan kekuasaan dan menyalahkan pembunuhan itu kepada Partai Komunis Indonesia (PKI), saat itu merupakan yang terbesar di luar Uni Soviet dan China, dengan tiga juta anggota.
Pada surat tertanggal 16 Mei kepada pemerintah, HRW juga mendesak pemerintah Indonesia untuk mengatur keamanan di lokasi-lokasi tersebut untuk mencegah penggalian ilegal. [hd]