Irak mulai memberlakukan sanksi-sanksi ekonomi yang dilancarkan Amerika atas Iran dengan menolak pengiriman barang-barang dari Iran di sejumlah pos perbatasan, menurut stasiun televisi al Hurra yang mengutip para pedagang Iran.
Sebelumnya, Perdana Menteri Irak Haider al-Abadi yang sedang berusaha mendapatkan masa jabatan kedua mengatakan pada wartawan hari Rabu (8/8) bahwa ia “sepenuhnya menentang sanksi-sanksi, karena Irak telah berpengalaman dikenai sanksi-sanksi internasional di bawah pemerintahan Saddam Hussein.”
Tapi Abadi mengatakan ia akan menjalankan sanksi-sanksi itu dengan senang “karena dunia menggunakan mata uang dollar dalam berdagang, dan tanpa itu akan merugikan kepentingan rakyat Irak.”
Iran adalah mitra dagang Irak terbesar kedua setelah Turki, dan ini menimbulkan keprihatinan bahwa sanksi-sanksi seperti itu akan merugikan perekonomian kedua negara. Irak mengimpor barang-barang dan jasa bernilai lebih dari 6, 5 milyar dollar dari Iran tahun lalu, termasuk barang-barang konsumen, bahan bangunan, bahan mentah, gas alam dan listrik.
Para pedagang di Baghdad mengatakan pada media Arab bahwa sekitar dua pertiga barang-barang konsumen yang mereka jual adalah buatan Iran.
Namun, kebanyakan analis mengatakan pemerintah Irak tidak menguasai banyak pos perbatasan darat dan lautnya, dan milisi-milisi Shiah yang pro Iran akan terus melakukan perdagangan gelap dengan Iran.
Analis timur tengah Theodore Karasik yang berkantor di Washington mengatakan, memberlakukan sanksi-sanksi itu akan sangat sulit, khususnya karena adanya “faksi-faksi Kurdi yang dekat dengan Iran.” Ia menambahkan, banyak warga Kurdi punya keluarga di kedua sisi perbatasan, sehingga akan sangat sulit memberlakukan sanksi-sanksi itu. [ii]