Iran adalah negara paling akhir yang menyampaikan seruan kepada Turki untuk membatasi operasi militernya melawan milisi Kurdi di Suriah. Hubungan Turki-Iran baru saja membaik, namun Iran tampak makin khawatir dengan kurangnya kejelasan mengenai cakupan dan lamanya operasi militer Turki dan tujuan Turki.
"Kami berharap agar operasi Turki di Suriah berakhir secepatnya," kata Presiden Iran Hassan Rouhani kepada wartawan, Selasa (6/2).
Sampai kini, Iran umumnya diam mengenai serangan Turki terhadap milisi YPG. Pasukan Turki yang didukung oleh pemberontak Suriah memasuki daerah kantong Afrin di Suriah yang dikuasai YPG hampir empat minggu yang lalu.
Turki menuduh YPG sebagai kelompok teroris yang terkait dengan pemberontakan Kurdi di Turki.
"Iran tadinya tidak menganggap operasi itu besar, sekarang ragu-ragu dan dianggap sebagai ancaman," kata pakar Iran, Djamshid Assadi dari Sekolah Bisnis Burgundy di Prancis.
"Iran tidak menginginkan operasi militer Turki yang besar di Suriah. Itan tidak ingin melihat ancaman apapun terhadap sekutunya (Presiden Suriah) Bashar al-Assad dan rezim Islam Iran tidak ingin melihat negara tetangga sebagai saingan di Suriah," imbuhnya.
Seruan Rouhani untuk mengakhiri segera operasi itu menyusul laporan bentrokan fatal antara pasukan Turki dan milisi yang didukung Iran di Suriah pekan ini.
Menlu Turki Mevlut Cavusoglu hari Rabu (7/2) melawat ke Iran untuk bertemu dengan rekannya Menlu Mohammad Javad Zarif. Pertemuan itu sedianya membahas kerjasama yang sedang berlangsung untuk menyelesaikan perang sipil di Suriah.
Tahun lalu, Rusia, Iran dan Turki bekerja sama, dalam apa yang telah dijuluki "Proses Astana". Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan berusaha meredakan ketegangan dengan Iran di Suriah dengan menyangkalnya sebagai sebuah konspirasi Amerika.
"Amerika mungkin punya rencana mengenai Turki,Iran dan mungkin Rusia, tapi kami akan tetap teguh," kata Erdogan pada pertemuan dengan anggota parlemennya. [my/jm]