Tautan-tautan Akses

WHO: Jaminan Kesehatan Universal Selamatkan Orang dari Krisis Keuangan


Seorang wanita mengenakan rompi bertuliskan “100% layanan kesehatan publik” berdesakan di antara orang-orang yang berkumpul di sebuah teras selama unjuk rasa kalangan dokter yang menuntut gaji yang lebih baik dan perbaikan kondisi kerja, di Madrid, Spanyol, 21 Maret 2018 (foto: REUTERS/Susana Vera)
Seorang wanita mengenakan rompi bertuliskan “100% layanan kesehatan publik” berdesakan di antara orang-orang yang berkumpul di sebuah teras selama unjuk rasa kalangan dokter yang menuntut gaji yang lebih baik dan perbaikan kondisi kerja, di Madrid, Spanyol, 21 Maret 2018 (foto: REUTERS/Susana Vera)

Jutaan orang di seluruh dunia menghadapi krisis keuangan; hartanya habis karena penyakit berat atau kecelakaan yang membebani mereka dengan tagihan rumah sakit yang luar biasa tinggi sehingga mereka tidak mampu membayarnya.

Skenario mimpi buruk ini jarang, bila ada, terjadi di negara-negara yang memiliki jaminan kesehatan universal. Sistem-sistem semacam ini melindungi orang dari bencana keuangan seperti yang terjadi di negara-negara dimana tidak ada skema jaminan kesehatan.

“Dewasa ini, sekitar 100 juta orang jatuh ke jurang kemiskinan akibat pengeluaran biaya kesehatan,” ujar Rudiger Krech, direktur WHO untuk sistem kesehatan dan inovasi. Ia mengatakan kepada VOA bahwa setiap negara, baik miskin maupun kaya, mampu menyelenggarakan jaminan kesehatan.

“Ini bukan hanyalah masalah keuangan, namun juga kehendak politik, pilihan politik. Jadi, anda mampu untuk menyelenggarakan jaminan kesehatan bagi semua orang, bahkan ketika negara anda bukan termasuk salah satu negara kaya di dunia,” ujarnya.

Contohnya, ujarnya negara-negara dengan pendapatan relatif rendah seperti Kuba dan Kosta Rika telah mengembangkan sistem jaminan kesehatan yang bagus, sementara Amerika Serikat, satu dari negara terkaya di dunia,”orang tetap harus menyisihkan sebagian besar gajinya dan pendapatannya untuk mendapatkan layanan kesehatan yang layak.”

“Kita sebut ini pengeluaran kesehatan yang menyebabkan krisis karena orang kehilangan hartanya karena kecelakaan atau karena harus menjalani operasi jantung,” ujarnya. “Jadi, kondisi ini tetap mendorong orang ke jurang kemiskinan.”

Separuh populasi dunia tidak memiliki jaminan kesehatan penuh

The World Health Organization melaporkan setidaknya setengah populasi dunia tidak memiliki jaminan layanan kesehatan penuh. Lebih dari 800 juta orang, atau hampir 12 persen dari populasi dunia, menghabiskan paling tidak 10 persen dari anggaran rumah tangganya untuk membayar layanan kesehatan, ujar WHO. Pada tahun 2015, lembaga itu menyatakan penduduk dunia menghabiskan dana $7,3 triliun untuk biaya kesehatan, yang mewakili hampir 10 persen dari PDB global.

WHO sedang menjalankan misi untuk memungkinkan semua orang dan anggota masyarakat untuk menerima layanan kesehatan yang mereka butuhkan tanpa harus mengalami krisis keuangan. Terkait dengan hal itu, lembaga tersebut memanfaatkan Hari Kesehatan Dunia, 7 April, untuk mendorong Tujuan Pembangunan Berkelanjutan PBB yang menyerukan diterapkannya sistem jaminan kesehatan global di 90 persen dari negara-negara dunia menjelang tahun 2030.

“Saya rasa ini adalah tujuan dimana harus menjadi cita-cita bagi orang di seluruh dunia,” ujar Shih-Chung Chen, menteri kesehatan dan kesejahteraan Taiwan.

“Saya tidak bilang hal ini akan tercapai menjelang 2030,” ujar Chen kepada sekelompok wartawan yang berkunjung, “namun saya rasa seluruh dunia harus memiliki kehendak untuk mencoba untuk mencapai tujuan ini, dan itulah mengapa kami ingin berpartisipasi dalam Dewan Kesehatan Dunia. Partisipasi kami akan memungkinkan kami untuk berkontribusi dalam mencapai tujuan itu.”

Tahun lalu, China menghalangi Taiwan untuk berpartisipasi dalam Dewan Kesehatan Dunia sebagai peninjau, dan sejauh ini pada tahun ini, Taiwan belum menerima undangan untuk hadir.

Sistem jaminan kesehatan Taiwan

“Saya rasa dalam rangka untuk memastikan kesehatan sebagai hak dasar umat manusia, tidak boleh ada pengalaman negara manapun yang dikesampingkan,” ujar menteri kesehatan Taiwan. “Kami amat bangga dengan sistem jaminan kesehatan universal kami. Saya rasa ini akan menjadi cara yang sangat penting bagi kami untuk berbagi dengan negara-negara lain di dunia.”

Sistem pembayaran tunggal untuk jaminan kesehatan yang diterapkan Taiwan dalam Asuransi Kesehatan Nasional, sebuah program wajib yang diluncurkan pada tahun 1995, menyediakan perlindungan komprehensif yang terjangkau bagi lebih dari 23 juta penduduk pulau itu. Pemerintah menghitung “sebuah keluarga dengan 4 orang anggota keluarga membayar premi kurang lebih US$ 100 per bulan.” Pengeluaran sebesar ini setara dengan 2 persen dari pendapatan rata-rata rumah tangga. Harapan hidup rata-rata di Taiwan telah meningkat hingga 80 tahun, setara dengan angka harapan hidup negara-negara anggota OECD.

“Lebih dari 85 persen orang di Taiwan menyatakan sangat puas dengan sistem Asuransi Kesehatan Nasional kami,” ujar Chen.

Pengeluaran biaya kesehatan yang rendah

Menteri kesehatan mengatakan kepada VOA total pengeluaran biaya kesehatan Taiwan hanya 6 persen dari PDB, yang terendah di dunia, dibandingkan dengan 16 persen biaya kesehatan yang ditanggung Amerika Serikat.

“Amerika Serikat sepenuhnya mampu menyediakan layanan kesehatan universal bagi warganya,” ujarnya. “Namun, karena AS memiliki banyak sistem yang sudah ada sejak lama dan ada banyak pemangku kepentingan yang terlibat, maka sedikit agak sulit. Selain itu, AS menekankan pentingnya kebebasan untuk memilih.”

Chen menyatakan dunia dapat belajar banyak dari program asuransi kesehatan Taiwan. Sayangnya, ia mengatakan Taiwan tidak dapat membantu karena dilarang berpartisipasi dalam berbagai organisasi internasional seperti World Health Organization.

Krech mengatakan pada VOA, yang berhak mengambil keputusan adalah PBB, bukan WHO, yang menentukan apakah Taiwan dapat disertakan dalam berbagai masalah kesehatan internasional.

“Kami berbicara kepada Negara-Negara Anggota dan sudah barang tentu Taiwan bukan Negara Anggota. Namun, ini adalah masalah China Taiwan dan China Taipei sehingga permasalahan ini kembali pada kebijakan “Satu China.”

“Kondisi ini sama sekali tidak mencegah kami untuk menyelenggarakan diskusi dengan wakil-wakil dari China Taipei,” ujarnya. “Kami sering bertukar kunjungan. Kami saksikan apa yang terjadi.” [ww]

XS
SM
MD
LG