Presiden Joko Widodo mengklaim bahwa pihaknya tidak pernah membuat kebijakan yang menabrak konstitusional dalam penanganan pandemi. Menurutnya, penanganan COVID-19 di Tanah Air sudah sesuai dengan koridor yang diatur dalam konstitusi.
“Tidak pernah terlintas dalam pikiran pemerintah sedikit pun, bahwa dengan mengatasnamakan pandemi COVID-19, pemerintah dengan sengaja menempuh langkah-langkah dan cara-cara inkonstitusional, menabrak prosedur, dan nilai demokrasi konstitusional,” ungkap Jokowi dalam Sidang Pleno Khusus Penyampaian Laporan Mahkamah Konstitusi Tahun 2021 di Gedung MK, Jakarta, Kamis (10/2).
Ia menjelaskan, tidak hanya Indonesia, namun negara-negara lain juga mengambil langkah yang luar biasa (extraordinary), cepat dan tepat yang semata-mata demi menyelamatkan rakyat dari situasi krisis ini.
“Tetapi saya ingin menegaskan, bahwa langkah-langkah extraordinary yang ditempuh pemerintah dalam penanganan pandemi dilakukan dengan penuh kehati-hatian dan sudah dengan pertimbangan-pertimbangan yang cermat. Menjaga agar semua langkah yang ditempuh tetap berada dalam koridor hukum dan koridor konstitusi,” jelasnya.
Pada awal pandemi COVID-19, pemerintah beserta jajarannya sempat menafikan kehadiran virus corona di Indonesia. Masih segar dalam ingatan di awal 2020, beberapa menteri bahkan mengeluarkan pernyataan yang menggampangkan situasi COVID-19.
Pada pertengahan tahun lalu saat Indonesia dilanda gelombang kedua COVID-19 yang disebabkan oleh varian delta, banyak pihak yang menganggap bahwa pemerintah lambat dalam menangani situasi yang terjadi. Sistem kesehatan, terutama di Pulau Jawa, saat periode Juni hingga Juli 2021 sempat kolaps karena banyaknya jumlah pasien yang terinfeksi COVID-19.
Pengamat kebijakan Publik Trubus Rahadiansyah menilai sejauh ini kebijakan yang dijalankan oleh pemerintah dalam penanganan pandemi COVID-19 sudah sesuai dengan koridor konstitusi. Menurutnya, jika terdapat perbedaan pandangan terkait hal ini di dalam masyarakat, itu semua disebabkan oleh perbedaan paradigma berpikir dalam hukum.
“Kalau dalam konteks Indonesia, pemerintah sudah sesuai konstitusi, kalau tidak sesuai Presidennya sudah di-impeachment dong. Itu cuma cara pandang saja, kebetulan kekeliruan di kita itu adalah, bahwa kita tidak pernah menggunakan satu hukum yang sama, itu masalahnya,” ungkapnya kepada VOA.
Trubus melihat, meskipun banyak sektor di dalam negeri yang terdampak pandemi COVID-19, tetapi hal ini tidak hanya terjadi di Indonesia saja. Dan ia menilai bahwa dalam menghadapi gelombang omicron, kebijakan yang diambil oleh pemerintah cenderung bisa mengendalikan situasi agar tidak memburuk.
“Bisa saja Presiden mengeluarkan peraturan lebih ketat pada gelombang omicron. Kita kembalikan misalnya ke PPKM Darurat yang dulu pernah diterapkan, tapi yang terjadi pasti masyarakat teriak, karena pedagang kecil mau jualan bagaimana? Presiden bisa menerapkan itu, tetapi Presiden kelihatannya tidak mau, kasian nanti pedagang kecil akan kesulitan,” ujarnya.
“Jadi Presiden tidak mau orang-orang di bawah ini dikorbankan oleh hukum yang berpikir dengan cara Belanda. Kalau lihat itu semua, pernyataan Presiden ini menarik karena mau gak mau kita harus mengubah pola berpikir hukum kita yang artinya tidak 'Belanda' sentris, tapi lebih ke campuran,” pungkas Trubus.
Tak Selalu Sependapat dengan MK
Dalam kesempatan ini, Jokowi pun mengapresiasi semua lembaga negara yang masih memiliki semangat untuk bekerja lebih cepat, lebih fleksibel meskipun dilanda pandemi COVID-19, termasuk Mahkamah Konstitusi yang telah mempercepat transformasi dan beradaptasi dengan kemajuan teknologi untuk kemudian beralih kepada peradilan digital.
“Memang pemerintah tidak selamanya sependapat dengan pandangan MK dalam putusan-putusannya, tetapi pemerintah selalu menerima, selalu menghormati dan melaksanakan putusan-putusan MK karena demikianlah yang diatur oleh UUD 1945, yakni keputusan MK bersifat final dan mengikat. Pemerintah yakin bahwa kehidupan bernegara kita akan tertata dengan baik jika diselenggarakan berdasar konstitusi,” jelasnya.
Jokowi berharap, MK dapat terus membuat putusan-putusan yang memberi jalan keluar terhadap masalah bernegara dalam menegakkan konstitusi dan terus membangun keseimbangan antara kepastian, keadilan dan kemanfaatan.
“Putusan MK tidak cukup hanya memberikan kepastian hukum, tetapi juga harus memberi rasa keadilan. Namun kepastian dan keadilan saja itu juga tidak cukup. Semua yang kita putuskan harus memberi kemanfaatan bagi kehidupan berbangsa dan bernegara, memberikan sumbangsih terbesar untuk kemakmuran rakyat dan kemajuan negara kita, Indonesia,” tuturnya. [gi/rs]