Tautan-tautan Akses

Kemenkes Klaim Tren Kasus COVID-19 Nasional Mulai Melandai


Pemakaman jenazah pasien COVID-19 di Yogyakarta, 17 Februari 2022. (Foto: AP)
Pemakaman jenazah pasien COVID-19 di Yogyakarta, 17 Februari 2022. (Foto: AP)

Kasus COVID-19 harian di Tanah air baru-baru ini sempat melonjak melebihi puncak kasus varian delta. Namun, kini tren penurunan kasus sudah mulai terlihat, baik di Jawa-Bali maupun luar daerah tersebut.

Pemerintah melihat adanya adanya tren penurunan kasus COVID-19 selama sepekan terakhir. Padahal, menurut Juru Bicara COVID-19 Kementerian Kesehatan Siti Nadia Tarmidzi, sejak varian omicron terdeteksi di Tanah Air pada Desember 2021, kasus COVID-19 harian nasional terus meningkat hingga melebihi puncak kasus delta. Indonesia mencatatkan rekor, yaitu 64.718 kasus omicron pada 16 Februari.

Jubir Vaksinasi COVID-19 Kemenkes Siti Nadia Tarmidzi. (Foto: VOA)
Jubir Vaksinasi COVID-19 Kemenkes Siti Nadia Tarmidzi. (Foto: VOA)

“Sejak itu (puncak kasus omicron) angka konfirmasi kasus harian tersebut terus menurun hingga kemarin dilaporkan sebanyak 34.000. Kita ketahui bahwa angka tersebut juga sudah berada di bawah puncak kasus varian delta, yang di Juli-Agustus tahun lalu mencapai angka 56.757 kasus per hari,” ungkap Nadia dalam telekonferensi pers di Jakarta, Selasa (22/2).

Selain itu, pemerintah juga melihat jumlah pasien COVID-19 yang dirawat di rumah sakit cenderung melandai. Secara nasional, ujar Nadia, jumlah pasien yang dirawat mencapai 34.488 atau 38 persen dari kapasitas tempat tidur isolasi yang telah disediakan pemerintah.

Seorang pekerja menyemprotkan disinfektan di dalam ruang kelas yang kosong setelah ditemukan kasus COVID-19 di sebuah sekolah di Medan, Sumatera Utara, Jumat, 11 Februari 2022. (Foto: AP)
Seorang pekerja menyemprotkan disinfektan di dalam ruang kelas yang kosong setelah ditemukan kasus COVID-19 di sebuah sekolah di Medan, Sumatera Utara, Jumat, 11 Februari 2022. (Foto: AP)

Menurutnya, angka pasien yang dirawat di rumah sakit tersebut masih sangat jauh jika dibandingkan dengan jumlah pasien yang dirawat pada saat puncak gelombang delta, yakni 93.256 orang.

Lebih jauh Nadia menjelaskan, penurunan kurva kasus harian tersebut berdampak kepada penurunan angka positivity rate nasional yang saat ini berada pada level 17,7 persen. Tren penurunan positivity rate tersebut disumbangkan dari penurunan di sejumlah provinsi.

“Kita juga melihat bahwa positivity rate di kota-kota besar di Jawa-Bali dalam periode 13-19 Februari mulai menunjukkan penurunan,” katanya.

Banten yang pernah di posisi 27,4 persen, menurut Nadia, saat ini turun menjadi 23,1 persen. Bali pada posisi 18,3 persen turun menjadi 11,2 persen, sedangkan DKI Jakarta yang sempat pada 23 persen, kini sudah turun menjadi 17,8 persen. Sedangkan Jawa Barat yang sempat pada posisi 23,7 persen turun menjadi 22,8 persen, Jawa Tengah juga turun dari 27,6 persen menjadi 26,5 persen, Jawa Timur juga turun dari 18 persen menjadi 17 persen.

Wilayah di luar Jawa dan Bali, Nadia mengklaim, juga terjadi penurunan positivity rate, di antaranya Papua, Lampung, Sulawesi Selatan, Sumatera Utara, Nusa Tenggara Barat dan Sumatera Selatan.

“Meski begitu, semua daerah tentunya belum pernah mencapai tingkat perawatan pasien seperti saat puncak delta tahun 2021 yang lalu,” tuturnya.

Tenaga medis melakukan tes swab PCR Covid-19 di sebuah sekolah di Solo, Jawa Tengah pada 7 Februari 2022. (Foto: AFP/Dika)
Tenaga medis melakukan tes swab PCR Covid-19 di sebuah sekolah di Solo, Jawa Tengah pada 7 Februari 2022. (Foto: AFP/Dika)

Angka Kematian

Adapun jumlah kematian pasien COVID-19 sejak omicron muncul di Tanah Air mencapai 2.484 orang. Dari jumlah tersebut, sebanyak 73 persen belum divaksin lengkap dan sama sekali belum mendapatkan vaksinasi COVID-19. Selain itu, setidaknya 21 persen pasien yang meninggal tersebut mempunyai kumorbid atau penyakit penyerta lebih dari satu.

“Risiko kematian bagi non-lansia tanpa komorbid yang telah mendapatkan booster hanyalah 0,49 persen, sedangkan risiko kematian bagi lansia tanpa komorbid yang sudah mendapatkan booster itu 7,5 persen,” tuturnya.

Sementara risiko kematian non-lansia tanpa komorbid, yang telah divaksinasi lengkap adalah 2,9 persen, dan risiko kematian lansia tanpa komorbid yang telah mendapatkan vaksinasi lengkap yakni 22,8 persen.

Warga menyemprotkan cairan disinfektan untuk mencegah penyebaran COVID-19 di salah satu area lingkungan di Tangerang, pada 15 Mei 2020. (Foto: Antara Foto/Muhammad Iqbal via Reuters)
Warga menyemprotkan cairan disinfektan untuk mencegah penyebaran COVID-19 di salah satu area lingkungan di Tangerang, pada 15 Mei 2020. (Foto: Antara Foto/Muhammad Iqbal via Reuters)

Maka dari itu, Nadia kembali mengingatkan pentingnya masyarakat untuk segera mendapatkan vaksinasi COVID-19 terutama bagi kelompok rawan, yakni lansia, dan yang mempunyai komorbid.

Hingga Senin (21/2), kata Nadia, terdapat 337 juta dosis vaksin yang telah disuntikan. Selain itu, dilaporkan juga sebanyak 51,97 persen dari total 270 juta populasi di Indonesia telah menerima vaksinasi COVID-19 dosis pertama.

“Sebanyak 189,689 juta vaksin dosis satu telah diberikan dan dosis kedua sebanyak 140,4 juta telah diberikan hingga 21 Februari kemarin. Vaksinasi dosis pertama sudah mencapai 51,97 persen, dari populasi 270 juta penduduk Indonesia, dan kita berharap kita akan melengkap target vaksinasi kita sebanyak 70 persen pada Juni 2022,” jelasnya.

Strategi Deteksi Dini Masih Lemah

Epidemiolog dari Universitas Griffith Australia, Dicky Budiman. (Foto: Dok Pribadi)
Epidemiolog dari Universitas Griffith Australia, Dicky Budiman. (Foto: Dok Pribadi)

Ahli epidemiologi dari Universitas Griffith Australia Dicky Budiman mengatakan kemungkinan tren penurunan kasus COVID-19 gelombang omicron bisa saja terjadi. Namun, menurutnya alangkah lebih baik jika pemerintah menunggu setidaknya hingga awal Maret untuk memastikan tren tersebut.

Hal ini, katanya, disebabkan karena ia melihat masih adanya ketimpangan data yang ada di lapangan dengan yang dilaporkan oleh pemerintah.

“Saya menerima laporan dari lapangan kasus, lalu kematian dan kesakitan banyak dan itu tidak terlaporkan, sehingga bahwa angka 64 ribu sebagai puncak itu sebetulnya pasti lebih dari itu. ini yang kita harus sabar,” kata Dicky kepada VOA.

“Kabar baiknya adalah mayoritas bisa ditangani di rumah, tapi kenapa kita belum bisa longgar dan juga terlalu berpuas diri? Karena lagging indikator seperti hunian rumah sakit yang masuk ICU dan kematian bahkan mulai minggu depan akan semakin meningkat,” tambahnya.

Maka dari itu, ia mengimbau kepada pemerintah untuk tidak menurunkan strategi deteksi dini yakni testing, tracing dan treatment (3T), yang sayangnya ia lihat semakin menurun dari waktu ke waktu. Menurut Dicky, pemerintah belum melakukan dengan baik indikator utama dalam pendeteksian dini, yakni testing dan tracing.

“Itu yang membuat kita dalam posisi meskipun sudah lewat puncak ya rawan untuk mengalami dampak di indikator akhir berupa kematian. Jadi selesai puncak itu bukan berarti selesai , dan bahkan bisa ada tren gelombang omicron yang lama di ketinggian itu, turun tapi pelan, karena ada varian BA2, dan dalam konteks Indonesia kita negara kepulauan,” pungkasnya. [gi/ah]

Recommended

XS
SM
MD
LG